Pesan Bijak Leluhur Untuk Kita Sekarang; Kehancuran NKRI

Wahai saudaraku. Apakah engkau ingin tahu apa yang akan terjadi di Nusantara nanti? Apakah dirimu ingin kuberi tahu tentang sesuatu yang akan terjadi dalam waktu dekat ini, di tanah pertiwi kita? Karena yakinlah, tidak akan mungkin kejahiliyahan yang terjadi sekarang ini terus berjaya selamanya. Tidak akan mungkin Tuhan membiarkan orang-orang yang kufur di negeri ini tetap hidup dengan melakukan banyak kerusakan. Bahkan bangsa ini pun akan hancur, musnah dan hanya meninggalkan sejarah kelam, jika saja kerusakan yang ada sekarang ini tetap di pelihara oleh para pemimpin dari negeri ini.

Untuk itu saudaraku. Kisah kejayaan masa lalu akan terulang kembali dengan nyata. Sedangkan di Nusantara, maka semuanya akan dimulai dan dipusatkan. Engkau akan menyaksikan, bahwa yang legenda akan kembali menjadi fakta dan yang fakta akan membenarkan mitos yang ada. Untuk itu bersiaplah, karena sebelum itu terjadi maka ada bencana dahsyat yang datang. Yang akan menyapu seluruh permukaan Bumi dengan banyak kerusakan. Dan bencana besar yang kumaksudkan itu bukan hanya sekedar fenomena alam biasa, tetapi di tambah lagi dengan perang dunia ke III.

Namun sayang, di akhir zaman ini, tidak banyak lagi yang masih menaruh harapan itu, terlebih meyakini pesan dan peringatan dari para leluhur kita yang bijak. Dan dengan ilmu yang sedikit, mereka lantas begitu mudahnya mengatakan bahwa itu semua hanyalah mitos dan dongeng belaka. Semuanya mustahil. Padahal banyak sekali dari keajaiban yang hingga kini tetap tidak bisa dijelaskan oleh ilmu pengetahuan ilmiah dan teknologi moderen, padahal nenek moyang kita sudah menjelaskannya sejak dulu. Karena yakinlah, bahwa azab dan laknatullah itu akan tetap ada, selama ada kejahiliyahan di dalam kehidupan manusia.

Untuk itu, agar lebih jelas, berikut ini ku sampaikan di antara pesan leluhur kita dulu, yang berasal dari Prabu Jayabaya (Raja kerajaan Kediri) dan Prabu Siliwangi (Raja kerajaan Pajajaran):

Nusantara jaya 2


1. ”Bojode ingkang negara, Narendra pisah lan abdi, Prabupati sowang-sowang, Samana ngalih nagari, Jaman Kutila genti, Kara murka ratunipun, Semana linambangan, Dene Maolana Ngali, Panji loro semune Pajang Mataram” (Prabu Joyoboyo, Raja Kediri)

Artinya: ”Negara rusak. Raja berpisah dengan rakyat. Bupati berdiri sendiri-sendiri. Kemudian berganti zaman Kutila. Rajanya Kara Murka. Lambangnya Panji loro semune Pajang Mataram” (Prabu Joyoboyo, Raja Kediri)

2. ”Nakoda melu wasesa, Kaduk bandha sugih wani, Sarjana sirep sadaya, Wong cilik kawelas asih, Mah omah bosah-basih, Katarajang marga agung, Panji loro dyan sirna, Nuli Rara ngangsu sami, Randha loro nututi pijer tetukar.”

Artinya: ”Nakhoda ikut serta memerintah. Punya keberanian dan kaya. Sarjana (orang pandai) tidak berdaya. Rakyat kecil sengsara. Rumah hancur berantakan diterjang jalan besar. Kemudian diganti dengan lambang Rara ngangsu, janda dua kali dibawah bayang-bayang”

3. “Selet-selete yen mbesuk ngancik tutup ing tahun sinungkalan dewa wolu, ngasta manggalaning ratu bakal ana dewa ngejawantah apeng awak manungsa apa surya padha bethara Kresna watak Baladewa agegaman trisula wedha jinejer wolak-waliking zaman wong nyilih mbalekake, wong utang mbayar utang, nyawa bayar nyawa utang wirang nyaur wirang” (Prabu Joyoboyo, Raja Kediri),

Artinya: “Selambat-lambatnya kelak menjelang tutup tahun (sinungkalan dewa wolu, ngasta manggalaning ratu) akan ada dewa tampil berbadan manusia, berparas seperti Batara Kresna, berwatak seperti Baladewa, bersenjata trisula wedha. Tanda datangnya perubahan zaman, orang pinjam mengembalikan, orang berhutang membayar hutang, nyawa bayar nyawa, malu dibayar malu” (Prabu Joyoboyo, Raja Kediri)

4. “Saking marmaning Hyang Sukma, jaman Kolobendhu sirna sinalinan jamanira, mulyaning jenengan nata, ing kono raharjaniro, karaton ing tanah jawa mamalaning bumi sirna, sirep dur angkara murka” (Prabu Joyoboyo, Raja Kediri)

Artinya: “Atas kehendak Tuhan, zaman Kolobendu hilang berganti zaman yang baru, kalian akan teratur dalam kemulian dan kemakmuran, kerajaan di tanah jawa hilang dari muka bumi, sirnalah angkara murka” (Prabu Joyoboyo, Raja Kediri)


5. Daréngékeun! Nu kiwari ngamusuhan urang, jaradi rajana ngan bakal nepi mangsa: tanah bugel sisi Cibantaeun dijieun kandang kebo dongkol. Tah di dinya, sanagara bakal jadi sampalan, sampalan kebo barulé, nu diangon ku jalma jangkung nu tutunjuk di alun-alun. Ti harita, raja-raja dibelenggu. Kebo bulé nyekel bubuntut, turunan urang narik waluku, ngan narikna henteu karasa, sabab murah jaman seubeuh hakan”

Artinya: ”Dengarkan! yang saat ini memusuhi kita, akan berkuasa hanya untuk sementara waktu: tanahnya kering padahal di pinggir sungai Cibantaeun dijadikan kandang kerbau kosong. Nah di situlah, sebuah negara akan pecah, pecah oleh kerbau bule (bangsa Eropa; kolonialisme), yang digembalakan oleh orang yang tinggi dan memerintah di pusat kota. Semenjak itu, raja-raja dibelenggu. Kerbau bule memegang kendali, dan keturunan kita hanya jadi orang suruhan. Tapi kendali itu tak terasa sebab semuanya serba dipenuhi dan murah serta banyak pilihan”

6. “Ti dinya, waluku ditumpakan kunyuk; laju turunan urang aya nu lilir, tapi lilirna cara nu kara hudang tina ngimpi. Ti nu laleungit, tambah loba nu manggihna. Tapi loba nu pahili, aya kabawa nu lain mudu diala! Turunan urang loba nu hanteu engeuh, yén jaman ganti lalakon ! Ti dinya gehger sanagara. Panto nutup di buburak ku nu ngaranteur pamuka jalan; tapi jalan nu pasingsal!”

Artinya: “Semenjak itu, pekerjaan dikuasai monyet (kapitalisme). Suatu saat nanti keturunan kita akan ada yang sadar, tapi sadar seperti terbangun dari mimpi. Dari yang hilang dulu semakin banyak yang terbongkar. Tapi banyak yang tertukar sejarahnya, banyak yang dicuri bahkan dijual! Keturunan kita banyak yang tidak tahu, bahwa zaman sudah berganti! Pada saat itu geger di seluruh negara. Pintu dihancurkan oleh mereka para pemimpin, tapi pemimpin yang salah arah! (saat sekarang)”

7. “Nu tutunjuk nyumput jauh; alun-alun jadi suwung, kebo bulé kalalabur; laju sampalan nu diranjah monyét! Turunan urang ngareunah seuri, tapi seuri teu anggeus, sabab kaburu: warung béak ku monyét, sawah béak ku monyét, leuit béak ku monyét, kebon béak ku monyét, sawah béak ku monyét, cawéné rareuneuh ku monyét. Sagala-gala diranjah ku monyét. Turunan urang sieun ku nu niru-niru monyét. Panarat dicekel ku monyet bari diuk dina bubuntut. Walukuna ditarik ku turunan urang keneh. Loba nu paraeh kalaparan. ti dinya, turunan urang ngarep-ngarep pelak jagong, sabari nyanyahoanan maresék caturangga. Hanteu arengeuh, yén jaman geus ganti deui lalakon” 

Artinya: “Yang memerintah bersembunyi, pusat kota kosong, kerbau bule kabur. Negara pecahan diserbu monyet (orang serakah dan kapitalis)! keturunan kita enak tertawa, tapi tertawa yang terpotong, sebab ternyata, pasar habis oleh penyakit, sawah habis oleh penyakit, tempat padi habis oleh penyakit, kebun habis oleh penyakit, perempuan hamil oleh penyakit. Semuanya diserbu oleh penyakit. Keturunan kita takut oleh segala yang berbau penyakit. Semua alat digunakan untuk menyembuhkan penyakit, sebab sudah semakin parah. Yang mengerjakannya masih bangsa sendiri. Banyak yang mati kelaparan. Semenjak itu keturunan kita banyak yang berharap bisa bercocok tanam sambil sok tahu membuka lahan. Mereka tidak sadar bahwa zaman sudah berganti cerita lagi”

Engkau masih kurang jelas? Baiklah, kuberikan termejahan lengkap dalam bahasa Indonesia, yang diambil dari Unggah Wangsit Prabu Siliwangi, yaitu:

“Perjalanan kita hanya sampai disini hari ini, walaupun kalian semua setia padaku! Tapi aku tidak boleh membawa kalian dalam masalah ini, membuat kalian susah, ikut merasakan miskin dan lapar. Kalian boleh memilih untuk hidup kedepan nanti, agar besok lusa, kalian hidup senang kaya raya dan bisa mendirikan lagi Pajajaran! Bukan Pajajaran saat ini tapi Pajajaran yang baru yang berdiri oleh perjalanan waktu! Pilih! aku tidak akan melarang, sebab untukku, tidak pantas jadi raja yang rakyatnya lapar dan miskin.”

Dengarkan! Yang ingin tetap ikut denganku, cepat memisahkan diri ke selatan! Yang ingin kembali lagi ke kota yang ditinggalkan, cepat memisahkan diri ke utara! Yang ingin berbakti kepada raja yang sedang berkuasa, cepat memisahkan diri ke timur! Yang tidak ingin ikut siapa-siapa, cepat memisahkan diri ke barat!

Dengarkan! Kalian yang di timur harus tahu: Kekuasaan akan turut dengan kalian! dan keturunan kalian nanti yang akan memerintah saudara kalian dan orang lain. Tapi kalian harus ingat, nanti mereka akan memerintah dengan semena-mena. Akan ada pembalasan untuk semua itu. Silahkan pergi!

Kalian yang di sebelah barat! Carilah oleh kalian Ki Santang! Sebab nanti, keturunan kalian yang akan mengingatkan saudara kalian dan orang lain. Ke saudara sedaerah, ke saudara yang datang sependirian dan semua yang baik hatinya.

Suatu saat nanti, apabila tengah malam, dari gunung Halimun terdengar suara minta tolong, nah itu adalah tandanya. Semua keturunan kalian dipanggil oleh yang mau menikah di Lebak Cawéné. Jangan sampai berlebihan, sebab nanti telaga akan banjir! Silahkan pergi! Ingat! Jangan menoleh kebelakang!

Kalian yang di sebelah utara! Dengarkan! Kota takkan pernah kalian datangi, yang kalian temui hanya padang yang perlu diolah. Keturunan kalian, kebanyakan akan menjadi rakyat biasa. Adapun yang menjadi penguasa tetap tidak mempunyai kekuasaan. Suatu hari nanti akan kedatangan tamu, banyak tamu dari jauh, tapi tamu yang menyusahkan. Waspadalah! Semua keturunan kalian akan aku kunjungi, tapi hanya pada waktu tertentu dan saat diperlukan. Aku akan datang lagi, menolong yang perlu, membantu yang susah, tapi hanya mereka yang bagus perangainya. Apabila aku datang takkan terlihat; apabila aku berbicara takkan terdengar. Memang aku akan datang tapi hanya untuk mereka yang baik hatinya, mereka yang mengerti dan satu tujuan, yang mengerti tentang harum sejati juga mempunyai jalan pikiran yang lurus dan bagus tingkah lakunya. Ketika aku datang, tidak berupa dan bersuara tapi memberi ciri dengan wewangian.

Semenjak hari ini, Pajajaran hilang dari alam nyata. Hilang kotanya, hilang negaranya. Pajajaran tidak akan meninggalkan jejak, selain nama untuk mereka yang berusaha menelusuri. Sebab bukti yang ada akan banyak yang menolak! Tapi suatu saat akan ada yang mencoba, supaya yang hilang bisa ditemukan kembali. Bisa saja, hanya menelusurinya harus memakai dasar. Tapi yang menelusurinya banyak yang sok pintar dan sombong dan bahkan berlebihan kalau bicara.
Suatu saat nanti akan banyak hal yang ditemui, sebagian-sebagian. Sebab terlanjur dilarang oleh Pemimpin Pengganti! Ada yang berani menelusuri terus menerus, tidak mengindahkan larangan, mencari sambil melawan, melawan sambil tertawa. Dialah Anak Gembala. Rumahnya di belakang sungai, pintunya setinggi batu, tertutupi pohon handeuleum dan hanjuang. Apa yang dia gembalakan? Bukan kerbau bukan domba, bukan pula harimau ataupun banteng. Tetapi ranting daun kering dan sisa potongan pohon. Dia terus mencari, mengumpulkan semua yang dia temui. Tapi akan menemui banyak sejarah/kejadian, selesai zaman yang satu datang lagi satu zaman yang jadi sejarah/kejadian baru, setiap zaman membuat sejarah. Setiap waktu akan berulang itu dan itu lagi.

Dengarkan! yang saat ini memusuhi kita, akan berkuasa hanya untuk sementara waktu. Tanahnya kering padahal di pinggir sungai Cibantaeun dijadikan kandang kerbau kosong. Nah di situlah, sebuah negara akan pecah, pecah oleh kerbau bule, yang digembalakan oleh orang yang tinggi dan memerintah di pusat kota. Semenjak itu, raja-raja dibelenggu. Kerbau bule memegang kendali, dan keturunan kita hanya jadi orang suruhan. Tapi kendali itu tak terasa, sebab semuanya serba dipenuhi dan murah serta banyak pilihan.

Semenjak itu, pekerjaan dikuasai monyet (Kapitalisme). Suatu saat nanti keturunan kita akan ada yang sadar, tapi sadar seperti terbangun dari mimpi. Dari yang hilang dulu semakin banyak yang terbongkar. Tapi banyak yang tertukar sejarahnya, banyak yang dicuri bahkan dijual! Keturunan kita banyak yang tidak tahu, bahwa zaman sudah berganti! Pada saat itu geger di seluruh negara. Pintu dihancurkan oleh mereka para pemimpin, tapi pemimpin yang salah arah!
Yang memerintah bersembunyi, pusat kota kosong, kerbau bule kabur. Negara pecahan diserbu monyet (orang serakah dan kapitalis)! Keturunan kita enak tertawa, tapi tertawa yang terpotong, sebab ternyata, pasar habis oleh penyakit, sawah habis oleh penyakit, tempat padi habis oleh penyakit, kebun habis oleh penyakit, perempuan hamil oleh penyakit. Semuanya diserbu oleh penyakit. Keturunan kita takut oleh segala yang berbau penyakit. Semua alat digunakan untuk menyembuhkan penyakit, sebab sudah semakin parah. Yang mengerjakannya masih bangsa sendiri. Banyak yang mati kelaparan. Semenjak itu keturunan kita banyak yang berharap bisa bercocok tanam sambil sok tahu membuka lahan. Mereka tidak sadar bahwa zaman sudah berganti cerita lagi.
Lalu sayup-sayup dari ujung laut utara terdengar gemuruh, burung menetaskan telur. Riuh seluruh bumi! Sementara di sini? Ramai oleh perang, saling menindas antar sesama. Penyakit bermunculan di sana-sini. Lalu keturunan kita mengamuk. Mengamuk tanpa aturan. Banyak yang mati tanpa dosa, jelas-jelas musuh dijadikan teman, yang jelas-jelas teman dijadikan musuh. Mendadak banyak pemimpin dengan caranya sendiri. Yang bingung semakin bingung. Banyak anak kecil sudah menjadi bapa. Yang mengamuk tambah berkuasa, mengamuk tanpa pandang bulu. Yang Putih dihancurkan, yang Hitam diusir. Kepulauan ini semakin kacau, sebab banyak yang mengamuk, tidak beda dengan tawon, hanya karena dirusak sarangnya. Seluruh nusa dihancurkan dan dikejar. Tetapi… ada yang menghentikan, yang menghentikan adalah orang sebrang.

Lalu berdiri lagi penguasa yang berasal dari orang biasa. Tapi memang keturunan penguasa dahulu kala dan ibunya adalah seorang putri Pulau Dewata. Karena jelas keturunan penguasa, penguasa baru susah dianiaya! Semenjak itu berganti lagi zaman. Ganti zaman ganti cerita! Kapan? Tidak lama, setelah bulan muncul di siang hari, disusul oleh lewatnya komet yang terang benderang. Di bekas negara kita, berdiri lagi sebuah negara. Negara di dalam negara dan pemimpinnya bukan keturunan Pajajaran.

Lalu akan ada penguasa, tapi penguasa yang mendirikan benteng yang tidak boleh dibuka, yang mendirikan pintu yang tidak boleh ditutup, membuat pancuran ditengah jalan, memelihara elang dipohon beringin (Indonesia). Memang penguasa buta! Bukan buta pemaksa, tetapi buta tidak melihat, segala penyakit dan penderitaan, penjahat juga pencuri menggerogoti rakyat yang sudah susah.

Sekalinya ada yang berani mengingatkan, yang diburu bukanlah penderitaan itu semua tetapi orang yang mengingatkannya. Semakin maju semakin banyak penguasa yang buta tuli. Memerintah sambil menyembah berhala. Lalu anak-anak muda salah pergaulan, aturan hanya menjadi bahan omongan, karena yang membuatnya bukan orang yang mengerti aturan itu sendiri. Wajar saja bila kolam semuanya mengering, pertanian semuanya puso, bulir padi banyak yang diselewengkan, sebab yang berjanjinya banyak tukang bohong, semua diberangus janji-janji belaka, terlalu banyak orang pintar, tapi pintar kebelinger.

Pada saat itu datang pemuda berjanggut, datangnya memakai baju serba hitam sambil menyanding sarung tua. Membangunkan semua yang salah arah, mengingatkan pada yang lupa, tapi tidak dianggap. Karena pintar kebelinger, maunya menang sendiri. Mereka tidak sadar, langit sudah memerah, asap mengepul dari perapian. Alih-alih dianggap, pemuda berjanggut ditangkap dimasukan kepenjara. Lalu mereka mengacak-ngacak tanah orang lain, beralasan mencari musuh tapi sebenarnya mereka sengaja membuat permusuhan.

Waspadalah! sebab mereka nanti akan melarang untuk menceritakan Pajajaran. Sebab takut ketahuan, bahwa mereka yang jadi gara-gara selama ini. Penguasa yang buta, semakin hari semakin berkuasa melebihi kerbau bule (bangsa Eropa; Belanda, Inggris, Portugis), mereka tidak sadar zaman manusia sudah dikuasai oleh kelakuan hewan. Kekuasaan penguasa buta tidak berlangsung lama, karena sudah kelewatan menyengsarakan rakyat yang sudah berharap agar ada mukjizat datang untuk mereka. Penguasa itu akan menjadi tumbal, tumbal untuk perbuatannya sendiri, kapan waktunya? Nanti, saat munculnya anak gembala! di situ akan banyak huru-hara, yang bermula di satu daerah semakin lama semakin besar meluas di seluruh negara.

Yang tidak tahu menjadi gila dan ikut-ikutan menyerobot dan bertengkar. Dipimpin oleh pemuda gendut! Sebabnya bertengkar? Memperebutkan tanah. Yang sudah punya ingin lebih, yang berhak meminta bagiannya. Hanya yang sadar pada diam, mereka hanya menonton tapi tetap terbawa-bawa. Yang bertengkar lalu terdiam dan sadar ternyata mereka memperebutkan pepesan kosong, sebab tanah sudah habis oleh mereka yang punya uang. Para penguasa lalu menyusup, yang bertengkar ketakutan, ketakutan kehilangan negara, lalu mereka mencari anak gembala, yang rumahnya di ujung sungai yang pintunya setinggi batu, yang rimbun oleh pohon handeuleum dan hanjuang. Semua mencari tumbal, tapi pemuda gembala sudah tidak ada, sudah pergi bersama pemuda berjanggut, pergi membuka lahan baru di Lebak Cawéné! Yang ditemui hanya gagak yang berkoar di dahan mati.

Dengarkan! zaman akan berganti lagi, tapi nanti, setelah Gunung Gede meletus, disusul oleh tujuh gunung. Ribut lagi seluruh bumi. Orang sunda dipanggil-panggil, orang sunda memaafkan. Baik lagi semuanya. Negara bersatu kembali. Nusa jaya lagi, sebab berdiri ratu adil, ratu adil yang sejati. Tapi ratu siapa? darimana asalnya sang ratu? Nanti juga kalian akan tahu. Sekarang, cari oleh kalian pemuda gembala. Silahkan pergi, ingat jangan menoleh kebelakang!”

Selain itu, untuk melengkapinya, berikut ini kusampaikan pula pesan yang berasal dari Serat Kalatidha; karya R.Ng. Ronggowarsito (Pujangga Mataram Islam) yang tertuang dalam Serat Centhini jilid IV (karya Susuhunan Pakubuwono V) pada Pupuh 257 dan 258:

“Wong agunge padha jail kurang tutur, marma jeng pamasa, tanpa paramarteng dasih, dene datan ana wahyu kang sanyata”
Artinya: “Para pemimpinnya berhati jahil, bicaranya ngawur, tidak bisa dipercaya dan tidak ada wahyu yang sejati”

“Keh wahyuning eblislanat kang tamurun, apangling kang jalma, dumrunuh salin sumalin, wong wadon kang sirna wiwirangira”
Artinya: Wahyu yang turun adalah wahyu dari iblis dan sulit bagi kita untuk membedakannya, para wanitanya banyak yang kehilangan rasa malu

“Tanpa kangen mring mitra sadulur, tanna warta nyata, akeh wong mlarat mawarni, daya deye kalamun tyase nalangsa”
Artinya: “Rasa persaudaraan meluntur, tidak saling memberi berita dan banyak orang miskin beraneka macam yang sangat menyedihkan kehidupannya”

“Krep paprangan, sujana kapontit nurut, durjana susila dadra andadi, akeh maling malandang marang ing marga”
Artinya: “Banyak peperangan yang melibatkan para penjahat, kejahatan/perampokan dan pemerkosaan makin menjadi-jadi dan banyak pencuri malang melintang di jalan-jalan”

“Bandhol tulus, mendhosol rinamu puguh, krep grahana surya, kalawan grahana sasi, jawah lindhu gelap cleret warsa”
Artinya: “Alampun ikut terpengaruh dengan banyak terjadi gerhana matahari dan bulan, hujan abu dan gempa bumi”

“Prahara gung, salah mangsa dresing surur, agung prang rusuhan, mungsuhe boya katawis, tangeh lamun tentreming wardaya”
Artinya: “Angin ribut dan salah musim, banyak terjadi kerusuhan seperti perang yang tidak ketahuan mana musuhnya yang menyebabkan tidak mungkin ada rasa tenteram di hati”

Dalajading praja kawuryan wus suwung, lebur pangreh tata, karana tanpa palupi, pan wus tilar silastuti titi tata”
Artinya: “Kewibawaan negara tidak ada lagi, semua tata tertib, keamanan, dan aturan telah ditinggalkan”

“Pra sujana, sarjana satemah kelu, klulun Kalathida, tidhem tandhaning dumadi, hardayengrat dening karoban rubeda”
Artinya: “Para penjahat maupun para pemimpin tidak sadar apa yang diperbuat dan selalu menimbulkan masalah/kesulitan.

“Sitipati, nareprabu utamestu, papatih nindhita, pra nayaka tyas basuki, panekare becik-becik cakrak-cakrak”
Artinya: “Para pemimpin mengatakan seolah-olah bahwa semuanya berjalan dengan baik, padahal hanya sekedar menutupi keadaan yang jelek”

“Nging tan dadya, paliyasing Kalabendu, mandar sangking dadra, rubeda angrubedi, beda-beda hardaning wong sanagara”
Artinya: “Yang menjadi pertanda zaman Kalabendu (zaman sekarang), makin lama makin menjadi kesulitan yang sangat, dan berbeda-beda tingkah laku/pendapat orang se-negara”.

“Ing Paniti sastra wawarah, sung pemut, ing zaman musibat, wong ambeg jatmika kontit, kang mangkono yen niteni lamampahan”
Artinya: “Memberikan peringatan pada zaman yang kalut dengan bijaksana (zaman sekarang), begitu agar kejadiannya/yang akan terjadi bisa jadi peringatan”

“Nawung krida, kang menangi jaman gemblung, iya jaman edan, ewuh aya kang pambudi, yen meluwa edan yekti nora tahan”
Artinya: “Untuk dibuktikan, akan mengalami zaman gila, yaitu zaman edan, sulit untuk mengambil sikap, apabila ikut gila/edan tidak tahan (saat sekarang ini)”

“Yen tan melu, anglakoni wus tartamtu, boya keduman, melik kalling donya iki, satemahe kaliren wekasane”
Artinya: “Apabila tidak ikut menjalani, tidak kebagian untuk memiliki harta benda, yang akhirnya bisa kelaparan”

“Wus dilalah, karsane kang Among tuwuh, kang lali kabegjan, ananging sayektineki, luwih begja kang eling lawan waspada”
Artinya: “Sudah kepastian, atas kehendak Allah SWT, yang lupa untuk mengejar keberuntungan, tapi yang sebetulnya, lebih beruntung yang tetap ingat dan waspada (dalam perbuatan berbudi baik dan luhur)”

“Wektu iku, wus parek wekasanipun, jaman Kaladuka, sirnaning ratu amargi, wawan-wawan kalawan memaronira”
Artinya: “Pada saat itu sudah dekat berakhirnya zaman Kaladuka. Hilangnya pemimpin karena sesama teman menjadi musuh diri sendiri”

“Saka marmaning Hayang Sukma, jaman Kalabendu sirna, sinalinan jamanira, mulyaning jenengan nata, ing kono raharjanira, karaton ing tanah Jawa, mamalaning bumi sirna, sirep dur angkaramurka”
Artinya: “Atas izin Allah SWT, zaman Kalabendu hilang, berganti zaman dimana tanah Jawa/Nusantara menjadi makmur, hilang kutukan bumi dan angkara murka pun mereda”

kota-masa-depan

Bagaimana saudaraku? Lihatlah! Bahwa gambaran singkat tentang kondisi di negeri ini sudah dijelaskan oleh para leluhur kita yang bijak, bahkan sebelum semuanya itu terjadi. Atas rasa cinta mereka kepada kita, maka sejak dulu mereka pun sudah mengingatkan kita untuk waspada dan bersatu ke dalam satu panji, yaitu Nusantara. Tetapi memang bangsa ini masih terlalu egois bahkan senang melupakan sejarah. Terlebih para pemimpinnya kini, mereka masih saja larut dalam kesenangan harta dan tahta belaka. Sehingga apa yang sudah di ramalkan oleh para leluhur kita dulu – tentang kerusahan dan kehancuran – terus saja terbukti hingga kini.

Ingatlah wahai semuanya, ingatlah kembali tentang pesan mulia ini; “Bhinnêka tunggal ika, tan hana dharma mangrwa: Terpecah belah tapi satu jualah, tiada kerancuan dalam kebenaran” (Kitab Negara kertagama, pupuh 139, bait 5, karya Empu Tantular). Sebab, jika ini di abaikan maka itu pulalah yang menjadi salah satu penyebab mengapa bangsa ini tidak bisa bangkit seperti dulunya. Dan kau jangan pernah berkata dan meyakini bahwa hanya Medang, Sri Wijaya dan Majapahit saja yang pernah jaya di Nusantara ini. Karena justru bila dibandingkan dengan Nusantara di masa lalu (jutaan – milyaran tahun silam), maka ketiga kerajaan ini masih terbilang negara yang kecil. Begitu banyak sejarah yang sudah terjadi, bahkan disaat Nusantara ini masih berbentuk satu daratan, maka begitu banyak peradaban luarbiasa yang pernah ada di tanah pertiwi ini. Bahkan bila di bandingkan dengan sekarang, maka perabadan mereka jauh lebih maju dari kita.

Ya. Jika dirimu memang benar-benar mengetahui sejarah dan arkeologi, tentunya engkau sudah bisa mengetahui begitu luarbiasanya bangsa ini. Satu bangsa yang dahulunya sangat hebat dan berulang kali menjadi pusat peradaban dunia. Mereka sangat disegani, bahkan semua peradaban dunia kini masih tetap dipengaruhi oleh banyak hal yang pernah ada di Nusantara tempo dulu. Begitu pun sosok para pemimpinnya, yang karena kehebatan dan kharismatiknya yang luarbiasa, bahkan hingga di jadikan dewa dan disembah oleh bangsa lain (khususnya di benua Eropa, Afrika dan Amerika).

Tetapi memang, kini kita tidak bisa berkata tentang banyak hal, tentang luarbiasanya nenek moyang kita dulu. Terlebih kita pun sulit menemukan bukti dan sisa-sisa dari kejayan mereka itu. Bahkan kita sendiri pernah dijajah oleh bangsa asing selama ±350 tahun. Sehingga kalau pun sudah banyak bukti sejarah ditemukan, maka semua itu sudah berada di negara mereka; para penjajah. Dan jika masih ada disini, maka pemerintah republik tidak menaruh perhatian yang serius.

Makanya, ada “sesuatu” wahai saudaraku. Ada banyak pihak yang tidak menginginkan bila bangsa ini kembali pada jati dirinya, bangkit dan berjaya seperti dulu. Karena bagi mereka (golongan serakah, kapitalis), jika itu benar terjadi maka kita akan hidup dalam keteraturan dan keadilan. Manusia akan hidup dalam kesejahteraan dan kedamaian. Sehingga menurut mereka, nanti mereka tidak bisa lagi mengeruk kekayaan dari negeri ini. Dan mereka ini (kaum jahiliyah), akan tetap berusaha merusak negeri ini agar tidak bisa bangkit, agar mereka tetap bisa mencengkeram dengan kuat, salah satunya dengan merusak akhlak para pemimpin bangsa kita sekarang.

Untuk itulah semuanya, aku dan dirimu, mari mulai menyingkirkan perbedaan kita. Mari kita kembali bergotong royong dalam membangun negeri tercinta ini. Lakukan apa saja yang bisa kita lakukan di tempat kita, di rumah kita, di kampung kita, yang penting itu semua hanya untuk kemajuan bangsa tercinta ini. Dan jika memang Tuhan menakdirkan bahwa nanti ada bencana yang dahsyat (laknatullah dan perang dunia ke III), maka biarkanlah. Teruslah beserah diri dan mempersiapkan segala kemungkinan yang terburuk sejak saat ini. Tetaplah demikian, karena jika Tuhan mengizinkan, maka kita pun akan bertemu di zaman yang baru dan peradaban yang baru pula, nanti.

Popular posts from this blog

Perbedaan analis sistem dan desain sistem

RANGKAIAN DAN GERBANG LOGIKA

SILATURAHIM ; PENGERTIAN dan MANFAATNYA