KERAJAAN MAJAPAHIT
Dalam sejarah Indonesia Kerajaan Majapahit merupakan suatu kerajaan yang
besar yang disegani oleh banyak bangsa asing. Namun sejarah Majapahit
pada hakikatnya menerima banyak unsur politis, kebudayaan, sosial,
ekonomi dari Kerajaan Singasari sehingga pembahasan Kerajaan Majapahit
tidak dapat dipisahkan dari sejarah Kerajaan Singasari.
a. Sumber Sejarah
Sumber informasi mengenai berdiri dan berkembangnya Kerajaan Majapahit berasal dari beberapa sumber, yakni:
- Prasasti Butak (1294 M) Prasasti ini dikeluarkan oleh Raden Wijaya setelah ia naik tahta. Prasasti ini memuat peristiwa-peristiwa keruntuhan Kerajaan Singasari dan perjuangan Raden Wijaya untuk mendirikan kerajaan.
- Kidung Harsawijaya dan Kidung Panji Wijayakrama Kedua kidung ini menceritakan Raden Wijaya ketika menghadapi musuh dari Kediri dan tahun-tahun awal perkembangan Majapahit.
- Kitab Pararaton Kitab ini menceritakan tentang pemerintahan raja-raja Singasari dan Majapahit.
- Kitab Negarakertagama Kitab ini menceritakan tentang perjalanan Hayam Wuruk ke Jawa Timur.
b. Kehidupan Politik
Sebagaimana
telah diuraikan bahwa Raja Kertanegara wafat pada tahun 1292 M, ketika
itu pusat Kerajaan Singasari diserbu secara mendadak oleh Jayakatwang
(keturunan Raja Kediri). Dalam serangan itu Raden Wijaya (menantu
Kertanegara) berhasil meloloskan diri dan lari ke Madura untuk meminta
perlindungan dari Bupati Arya Wiraraja. Atas bantuan dari Arya Wiraraja
itu, Raden Wijaya diterima dan diampuni oleh Jayakatwang dan diberikan
sebidang tanah di Tarik. Daerah itu kemudian dibangun kembali menjadi
sebuah perkampungan dan digunakan oleh Raden Wijaya untuk mempersiapkan
diri dan menyusun kekuatan untuk sewaktu-waktu mengadakan serangan
balasan terhadap Kediri.
Kedatangan pasukan China-Mongol yang ingin
menaklukkan Kertanegara, tidak disia-siakan oleh Raden Wijaya untuk
menyerang Raja Jayakatwang (Raja Kediri). Raden Wijaya berhasil menipu
pasukan-pasukan China, sehingga mereka rela bergabung dengan Raden
Wijaya dan menyerang Raja Jayakatwang hingga akhimya Kerajaan Kediri
dapat dihancurkan.
Kemenangan itu membuat tentara China Mongol
bergembira. Saat tentara China Mongol merayakan pesta kemenangan, Raden
Wijaya menyerang mereka. Serangan yang tiba-tiba dan tak diduga yang
dilakukan oleh pasukan Raden Wijaya, membuat tentara China Mongol kalang
kabut. Banyak yang terbunuh, sedangkan yang selamat melarikan diri.
Dengan
lenyapnya pasukan China-Mongol, pada tahun 1292 M Kerajaan Majapahit
sudah dianggap berdiri. Walaupun demikian secara resmi sistem
pemerintahan Kerajaan Majapahit baru berjalan setahun kemudian, ketika
Raden Wijaya menjadi Raja Majapahit yang pertama dengan gelar Sri
Kertarajasa Jayawardhana.
Raden Wijaya Raden Wijaya memerintah
Kerajaan Majapahit dari tahun 1293-1309 M. Raden Wijaya sempat
memperistri keempat putri Kertanegara, yaitu Tribhuwana,
Narendraduhita, Prajnaparamita, dan Gayatri. Pada awal pemerintahannya
terjadi pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan oleh teman-teman
seperjuangan Raden Wijaya seperti Sora, Ranggalawe, dan Nambi.
Pemberontakan-pemberontakan itu terjadi karena rasa tidak puas atas
jabatan-jabatan yang diberikan oleh raja. Akan tetapi,
pemberontakan-pemberontakan itu dapat dipadamkan.
Raden Wijaya wafat
pada tahun 1309 M dan didharmakan pada dua tempat, yaitu dalam bentuk
Jina (Buddha) di Antapura dan dalam bentuk Wisnu dan Siwa di Candi
Simping (dekat Blitar).
Raja Jayanegara Raden Wijaya wafat
meninggalkan seorang putra yang bernama Kala Gemet. Putra ini diangkat
menjadi raja Majapahit dengan gelar Sri Jayanegara (Raja Jayanegara)
pada tahun 1309 M.
Jayanegara memerintah Majapahit dari tahun
1309-1328 M. Masa pemerintahan Jayanegara penuh dengan pemberontakan dan
juga dikenal sebagai suatu masa yang suram dalam sejarah Kerajaan
Majapahit. Pemberontakan-pemberontakan itu datang dari Juru Demung (1313
M), Gajah Biru (1314 M), Nambi (1316 M), dan Kuti (1319 M).
Pemberontakan
Kuti merupakan pemberontakan yang paling berbahaya dan hampir
meruntuhkan Kerajaan Majapahit. Raja Jayanegara terpaksa mengungsi ke
Desa Bedander yang diikuti oleh sejumlah pasukan Bhayangkara (pengawal
pribadi raja) di bawah pimpinan Gajah Mada. Setelah beberapa hari
menetap di Desa Bedander (tempat ini belum dapat ditentukan di mana
letaknya) maka Gajah Mada kembali ke Majapahit untuk meninjau suasana.
Setelah
diketahui keadaan rakyat dan para bangsawan istana tidak setuju dan
bahkan sangat benci kepada Kuti, Gajah Mada akhirnya merencanakan suatu
siasat untuk melakukan serangan terhadap Kuti. Berkat ketangkasan dan
siasat jitu dari Gajah Mada, Kuti dan kawannya dapat dilenyapkan.
Raja
Jayanegara dapat kembali lagi ke istana dan menduduki tahta Kerajaan
Majapahit. Sebagai penghargaan atas jasa Gajah Mada, maka ia langsung
diangkat menjadi patih di Kahuripan (1319-1321 M), tidak lama kemudian
diangkat menjadi patih di Kediri (1322-1330 M).
Raja
Tribhuwanatunggadewi. Ketika raja Jayanegara meninggal dengan tidak
meninggalkan seorang putra mahkota maka tahta Kerajaan Majapahit jatuh
ke tangan Gayatri, putri Raja Kertanegara yang masih hidup. Namun,
karena ia sudah menjadi seorang pertapa, tahta kerajaan diserahkan
kepada putrinya yang bernama Tribhuwanatunggadewi.
Tribhuwanatunggadewi
memerintah Kerajaan Majapahit dari tahun 1328-1350 M. pada masa
pemerintahannya, meletus pemberontakan Sadeng (1331 M). Pimpinan
pemberontakan tidak diketahui. Nama Sadeng sendiri adalah nama daerah
yang terletak di Jawa Timur. Pemberontakan Sadeng dapat dipadamkan oleh
Gajah Mada dan Adityawarman.
Karena jasa dan kecakapannya, Gajah Mada
diangkat menjadi Patih Amangkubhumi Majapahit menggantikan Arya Tadah.
Saat upacara pelantikan, Gajah Mada mengucapkan sumpahnya yang terkenal
dengan nama Sumpah Palapa (Tan Amukti Palapa) yang menyatakan bahwa
Gajah Mada tidak akan hidup mewah sebelum Nusantara berhasil disatukan
di bawah panji Kerajaan Majapahit. Sejak saat itu, Gajah Mada menjadi
pejabat pemerintahan tertinggi sesudah raja. la mempunyai wewenang untuk
menetapkan politik pemerintahan Majapahit.
Raja Hayam Wuruk Raja
Hayam Wuruk yang terlahir dari pernikahan Tribhuwanatunggadewi dengan
Cakradara (Kertawardhana) adalah seorang raja yang mempunyai pandangan
luas. Kebijakan politiknya banyak memiliki kesamaan dengan politik Gajah
Mada, yaitu mencita-citakan persatuan Nusantara di bawah panji Kerajaan
Majapahit.
Hayam Wuruk memerintah Kerajaan Majapahit dari tahun
1350-1389 M. Pada masa pemerintahannya, Gajah Mada tetap merupakan salah
satu tiang utama Kerajaan Majapahit dalam mencapai kejayaan-nya. Bahkan
Kerajaan Majapahit dapat disebut sebagai kerajaan nasional setelah
Kerajaan Sriwijaya.
Selama hidupnya, Patih Gajah Mada menjalankan
politik persatuan Nusantara. Cita-citanya dijalankan dengan begitu
tegas, sehingga menimbulkan Peristiwa Sunda yang terjadi tahun 1351 M.
Peristiwa itu berawal dari usaha Raja Hayam Wuruk untuk meminang putri
dari Pajajaran, Dyah Pitaloka. Lamaran itu diterima oleh Sri Baduga.
Raja Sri Baduga beserta putri dan pengikutnya pergi ke Majapahit, dan
beristirahat di Lapangan Bubat dekat pintu gerbang Majapahit.
Selanjutnya,
timbul perselisihan paham antara Gajah Mada dan pimpinan laskar
Pajajaran. Gajah Mada ingin menggunakan kesempatan ini agar Pajajaran
mau mengakui kedaulatan Majapahit, yakni dengan menjadikan putri Dyah
Pitaloka sebagai selir Raja Hayam Wuruk dan bukan sebagai permaisuri.
Hal ini tidak dapat diterima oleh Pajajaran karena dianggap merendahkan
derajat. Akhirnya, pecah pertempuran yang mengakibatkan terbunuhnya Sri
Baduga dengan putrinya dan seluruh pengikutnya di Lapangan Bubat.
Akibat
peristiwa itu politik Gajah Mada menemui kegagalan, karena dengan
adanya Peristiwa Bubat belum berarti Pajajaran sudah menjadi wilayah
Kerajaan Majapahit. Bahkan, Kerajaan Pajajaran terus berkembang secara
terpisah dari Majapahit.
Ketika Gajah Mada wafat tahun 1364 M, Raja
Hayam Wuruk kehilangan orang yang sangat diandalkan untuk memerintah
kerajaan. Setelah Gajah Mada wafat. Raja Hayam Wuruk mengadakan sidang
Dewan Sapta Prabu untuk memutuskan pengganti Patih Gajah Mada. Namun,
tidak ada satu orang pun yang sanggup menggantikan Patih Gajah Mada.
Kemudian diangkatlah empat orang menteri di bawah pimpinan Punala
Tanding. Hal itu tidak berlangsung lama. Keempat orang menteri tersebut
digantikan oleh dua orang menteri, yaitu Gajah Enggon dan Gajah Manguri.
Akhirnya, Hayam Wuruk memutuskan untuk mengangkat Gajah Enggon sebagai
patih mangkubumi menggantikan posisi Gajah Mada.
Keadaan Kerajaan
Majapahit bertambah suram dengan wafatnya Tribhuwanatunggadewi (ibunda
Raja Hayam Wuruk) tahun 1379 M. Kerajaan Majapahit semakin kehilangan
pembantu-pambantu yang cakap. Kemun-duran Kerajaan Majapahit semakin
jelas setelah wafatnya Raja Hayam Wuruk tahun 1389 M. Berakhiriah masa
kejayaan Majapahit.
Wikrama Wardhana Raja Hayam Wuruk digantikan oleh
putrinya yang ber-nama Kusuma Wardhani. Putri ini menikah dengan
Wikrama Wardhana (kemenakan Hayam Wuruk). Wikrama Wardhana memerintah
Kerajaan Majapahit dari tahun 1389-1429 M. Tetapi Hayam Wuruk juga
mempunyai seorang putra (yang lahir dari selir) bemama Wirabhumi.
Wirabhumi diberi kekuasaan di ujung timur Pulau Jawa, yaitu di daerah
Blambangan sekarang.
Pada mulanya antara Wikrama Wardhana dan
Wirabhumi terjalin suatu hubungan yang baik. Tetapi pada tahun 1400 M,
Kusumawardhani wafat, sementara Wikrama Wardhana mempunyai maksud untuk
menjadi bhiksu. Hal ini menyebabkan kekosongan dalam pemerintahan
Majapahit. Wirabhumi memanfaatkan kesempatan mi untuk merebut kekuasaan
di Majapahit, sehingga menimbulkan Perang Paregreg antara tahun
1401-1406 M. Dalam perang ini Wirabhumi dapat dibunuh. Meskipun Perang
Paregreg telah berakhir, keadaan Kerajaan Majapahit makin lemah. Satu
persatu daerah kekuasaan Majapahit melepaskan diri dari kekuasaan
pemerintahan pusat. Seiring dengan itu, muncul kekuasaan
kerajaan-kerajaan Islam di pesisir.
Suatu tradisi lisan yang terkenal
di Pulau Jawa menyatakan bahwa Kerajaan Majapahit hancur akibat
serangan dari pasukan-pasukan Islam di bawah pimpinan Raden Patah
(Demak). Pada waktu itu disebutkan bahwa raja yang memerintah di
Majapahit adalah Brawijaya V. Brawijaya V merupakan raja terakhir dari
Kerajaan Majapahit, karena setelah wafatnya, Kerajaan Majapahit
mengalami keruntuhan (sekitar awal abad ke-16 M).
c. Kemunduran Kerajaan Majapahit
Meletusnya
Perang Paregreg disebabkan Wirabhumi tidak puas dengan pengangkatan
Suhita menjadi raja menggantikan Wikrama Wardhana. Dalam Perang Paregreg
itu, Wirabhumi berhasil dikalahkan (peristiwa ini menjadi dasar dari
cerita Damarwulan - Minakdjinggo).
Setelah pemerintahan Suhita,
terdapat beberapa raja dari Kerajaan Majapahit yang tidak begitu besar
kekuasaannya, seperti: Raja Kertawijaya (1447-1451 M), Raja Rajasa
Wardhana (1451-1453 M), Raja Purwawisesa (1456-1466 M), Raja Simba
Wikramawardhana (1466-1478).