TERBENTUKNYA PERADABAN AWAL MASYARAKAT INDONESIA
Mendeskripsikan kehidupan manusia
di masa lampau adalah dengan menganalisis serangkaian peninggalan sejarahnya
agar supaya kita mengetahui apa definisi
dan benluk peninggalan sejarah itu. Dari peninggalan sejarah itulah, kita bisa
merekonstruksi beragam peristiwa yang terjadi pada masa lampau untuk dijadikan
cerita sejarah. Begitu pula saat kita hendak meneliti dan menulis kehidupan
manusia dan masyarakat awal yang ada di Kepulauan Indonesia. Melalui bantuan
ilmu Arkeologi kita bisa mengungkap misteri kehidupan manusia di masa lampau.
Serangkaian penemuan fosil, baik menyangkut manusia maupun hasil budayanya,
bisa kita jadikan tahap awal untuk meneliti seperti apa wujud kehidupan mereka
itu.
Penemuan fosil itu memang bisa
dijadikan pintu pembuka untuk mengungkap misteri kehidupan manusia yang telah
terselimuti kabut selama ratusan ribu tahun itu. Namun, itu belum bisa menjamin
bahwa rekonstruksi yang kita lakukan itu sesuai dengan faktanya. Karena, sebuah
fosil bisa dianalisis dan diinterpretasi menjadi beragam cerita sesuai dengan
visi, kepentingan, dan kejujuran para penelitinya. Inilah yang sering menimbulkan
polemik di antara para ilmuwan, seperti dalam kasus asal usul manusia modern.
Apakah manusia itu berasal dari Afrika lalu menyebar ke berbagai tempat di
dunia atau muncul di berbagai tempat secara sendiri-sendiri. Sebagai bagian
dari masyarakat ilmiah, kita mesti kritis di dalam menyikapi temuan-temuan itu.
Pembelajaran berikut ini akan mendeskripsikan teori-teori asal usul manusia di
Indonesia, dilanjutkan dengan menganalisis perkembangan kehidupan serta
kebudayaan manusia dan masyarakat awal di Indonesia
1. "Hawa
Mitokondria" dan "Adam Kromosom Y" Asal Mula Manusia Modern
Selama berpuluh-puluh tahun
petunjuk satu-satunya dalam penelitian persebaran manusia purba adalah
fosil-fosil dan artefak-artefak yang ditinggalkan dalam pengembaraan mereka.
Penelusuran asal usul manusia seperti mendapatkan darah baru, setelah penerapan
teknologi genetika dengan menggunakan DNA mitokondria (mtDNA) untuk
mencari tahu hubungan kekerabatan antarpopulasi. Terobosan itu membuka pintu
gerbang menuju pengungkapan cikal-bakal manusia modern atas dasar persamaan
genetik.
Setiap tetes darah manusia berisi
buku sejarah yang ditulis dalam bahasa genetika. Kode-kode genetika manusia
atau genom, adalah 99,9 persen identik di seluruh dunia. Selebihnya ialah DNA
yang bertanggungjawab terhadap perbedaan individual, seperti warna mata, resiko
penyakit, dan beberapa DNA yang tidak begitu jelas fungsinya.
Suatu ketika dalam perubahan
genetika yang langka, mutasi acak dan tidak berbahaya dapat terjadi dalam salah
satu DNA yang tak berfungsi tersebut, yang kemudian diwariskan ke semua
keturunan orang itu. Namun, mutasi-mutasi yang memberikan petunjuk tetap
terlindungi. Salah satunya adalah DNA mitokondria (mtDNA), yang
diteruskan utuh dari ibu ke anak. Demikian juga sebagian besar kromoson Y, yang
menentukan laki-laki, berpindah utuh dari ayah ke anak laki-laki.
Berdasarkan penelitian mtDNA dari
berbagai populasi, para ilmuwan menyimpulkan, bahwa manusia modern sekarang ini
semua merupakan satu keturunan dari satu nenek moyang ("Hawa"
mitokondria). Hawa mitokondria segera bergabung dengan "Adam kromosom
Y". Semua umat manusia terkait dengan Hawa mitokondria melalui rantai para
ibu yang tak terpatahkan.
Oleh karena itu, DNA Mitokondria
dapat digunakan untuk merekonstruksi sejarah asal usul dan persebaran manusia
dari sisi ibu (maternal). Orang-orang di dari berbagai belahan dunia memiliki
garis keturunan berbeda, tetapi mereka mtDNA dan kromoson Y purba yang setara.
Untuk mempelajari persebaran manusia purba/ penelitian DNA mitokondria ini
menggunakan sumber genetik yang dapat bertahan dalam waktu lama, yaitu
tulang-belulang yang sudah menjadi fosil.
Kesimpulan itu membuka cakrawala
baru bahwa manusia modern bukanlah keturunan dari manusia purba semacam Homo
Sapiens yang hidup 500.000 tahun lalu, atau bahkan, spesies yang lebih tua
seperti Homo Habilis (2,5-1,6 juta tahun lalu), Homo Ergaster
(1/8-1,4 juta tahun lalu), dan Homo Erectus (1,5 juta tahun lalu).
2. Folimorfisme
Polimorfisme adalah sifat keragaman
sel yang disebabkan oleh adanya sejumlah mutasi yang terjadi secara alamiah dan
tidak membawa akibat buruk yang memunculkan variasi individu-individu yang
khas. Sifat keberagaman gen (polimorfisme) ini juga dapat digunakan
dalam rangka penelusuran asal usul manusia dan hubungan kekerabatan antara
berbagai ras dan suku, dan untuk membedakan ras yang satu dengan yang lain.
Rangkaian informasi genetik yang terkandung dalam DNA mitokondria dapat juga
menggambarkan karakteristik suatu populasi.
Oleh karena, itu jauh-dekatnya
kekerabatan suatu kelompok suku bangsa dapat dilihat dari persamaan variasi
dari suku bangsa tersebut. Semakin besar jumlah variasi yang memisahkan dua
kelompok etnik, semakin jauh jarak kekerabatan antara kedua kelompok tersebut.
Sebaliknya jika ada dua orang yang mtDNA-nya persis sama, maka kekerabatan di
antara keduanya sangat dekat, mungkin satu ibu, satu nenek, atau satu nenek
moyang.
3. Daerah Asal Manusia
Pada pertengahan tahun
1980-an Allan Wilson dan rekan-rekan di University of California,
Barkeley, menggunakan mtDNA untuk mengidentifikasikan tempat asal nenek moyang
umat manusia. Mereka membandingkan mtDNA dari wanita-wanita di seluruh dunia
dan menemukan bahwa wanita-wanita keturunan Afrika menunjukkan keanekaragaman
dua kali lebih banyak daripada kaum wanita lain.
Max Ingman, doktor genetik asal
Amerika Serikat mengungkapkan hal senada dengan pendapat bahwa manusia modern
berasal dari salah satu tempat di Afrika antara kurun waktu 100 - 200 ribu
tahun lalu. Dari situ moyang manusia masa kini itu lantas menyebar dan mendiami
tempat-tempat di luar Afrika. Gen manusia modern ini tidak bercampur dengan gen
spesies manusia purba.
Sekitar 50.000 hingga
70.000 tahun silam, satu gelombang kecil manusia yang mungkin hanya berjumlah
seribu orang dari Afrika menuju pantai-pantai Asia bagian Barat. Ada dua jalur
tersedia menuju Asia. Pertama mengarah ke Lembah Sungai Nil, melintasi
Semenanjung Sinai lalu ke utara lewat Levant. Namun, jalur yang satunya juga
mengundang untuk dijelajahi, yaitu melintasi Laut Merah. Pada saat itu (70.000
tahun yang lalu) bumi memasuki zaman es terakhir dan permukaan laut menjadi
lebih rendah karena air tertahan dalam gletser. Pada bagian tersempit di muara
Laut Merah hanya berjarak beberapa kilometer. Dengan menggunakan perahu
primitif, manusia modern dapat menyeberangi laut untuk pertama kalinya.
Setelah berada di Asia,
bukti genetis memperkirakan populasi terpecah. Satu kelompok tinggal sementara
di Timur Tengah, sementara kelompok lain menyusuri pantai sekitar Semenanjung
Arab, India dan wilayah Asia yang lebih jauh. Setiap generasi mungkin bergerak
hanya beberapa kilometer lebih jauh.
Para pengembara telah
mencapai Australia Barat Daya 45.000 tahun lalu. Hal ini terbukti dengan
penemuan fosil seorang pria di Lake Mungo. Fosil-fosil lain yang belum
terungkap di dalam tanah mungkin berusia lebih tua yaitn sekitar 50.000 tahun
yang lalu. Hal ini menjadi bukti paling awal manusia modern yang berada jauh
dari Afrika.
Tidak ada jejak fisik
berupa fosil orang-orang ini sepanjang sekitar 13.000 kilometer dari Afrika ke
Australia. Semua mungkin sudah lenyap saat air laut naik sesudah zaman es.
Namun jejak genetika berlangsung terus. Beberapa kelompok pribumi pada
kepulauan Andaman dekat Myanmar, Malaysia dan Papua Nugini, serta orang
Aborigin di Australia memiliki tanda garis keturunan mitokondria purba.
B. Asal
Usul dan Persebaran Manusia di Kepulauan Indonesia
Kehidupan manusia di mana pun dia
berada, tidak pernah terlepas dari alam yang melingkunginya. Interaksi antara
manusia dengan alam itulah yang bisa mendorong lahirnya kebudayaan. Oleh karena
itu, cara paling baik untuk mengetahui bagaimana kehidupan manusia pada
masa-masa awal, bisa dimulai dengan menganalisis struktur dan umur bumi. Dan
hal ini bisa diawali dengan meneliti fosil yang ditemukan. Dari situlah, kita
bisa mengetahui seperti apa wujud manusia, kapan dia hidup, berapa umurnya, dan
bagaimana bentuk kebudayaannya.
Untuk bisa mengetahui bagaimana
karakteristik bumi dari zaman ke zaman itu, kita perlu bantuan ilmu geologi dan
geografi. Menurut ilmu geologi, bumi itu dibagi menjadi beberapa zaman.
1. Zaman Arkhaicum atau Zaman Tertua
Periode mi terjadi kira-kira beberapa puluh juta tahun
Sebelum Masehi. Zaman ini berlangsung kira-kira 2500 juta tahun yang lalu. Pada
masa ini, belum ada binatang-binatang yang bertulang, yang hidup hanyalah
binatang-binatang rendah.
2. Zaman
Palaeozoicum atau Zaman Pertama
Periode ini terjadi kira-kira 340 juta tahun Sebelum Masehi. Hidup pada masa ini
ikan dan binatang yang hidup di darat maupun di air.
3. Zaman Mesozoicum atau Zaman Kedua
Periode ini terjadi kira-kira 140 juta tahun Sebelum Masehi. Pada masa ini telah
hidup binatang reptil yang besar, ikan-ikan yang besar, dan beberapa binatang
yang menyusui.
4. Zaman Neozoicum
Zaman ini terbagi lagi menjadi beberapa zaman, yaitu:
a. Zaman Ketiga
Periode ini terjadi kira-kira 60 juta tahun yang lalu. Pada periode ini, sudah banyak ditemukan binatang menyusui.
Bahkan pada akhir zaman ini sudah, ada beberapa kera seperti manusia, misalnya
gorila, orang utan, dan se-bagainya.
b. Zaman Keempat
Periode ini terjadi kira-kira 600.000
tahun yang lalu. Manusia dipastikan telah ada pada masa ini. Zaman ini
terbagi menjadi dua periode, yaitu Diluvium atan zaman es dan Alluvium
yaitu zaman yang kita alami sekarang, yang terdiri atas diluvium tua, tengah,
dan muda. Dalam ilmu Geologi, zaman diluvium disebut juga zaman pleistosen
atau zaman glasial atau zaman es. Sedangkan zaman alluvium disebut juga zaman Holosen
di mana mulai hidup Homo sapiens.
Kepulauan Indonesia
sendiri pada zaman pleistosen yaitu saat manusia telah hidup dan
berkembang, masih bersatu dengan daratan Asia Tenggara. Coba kamu amati peta
Asia Tenggara pada zaman pleistosen. Karena air yang ada di Kutub Utara
dan Selatan membeku hingga sampai ke lintang 60°, maka permukaan air laut turun
sampai 70 meter dari keadaan sekarang. Salah satu akibatnya adalah wilayah
Indonesia bagian barat bersatu dengan daratan atau kontinen Asia dan wilayah
Indonesia bagian timur bersatu dengan Benua Australia. Kamu tentu bisa
menghubungkan fenomena ini dengan kemiripan flora dan fauna yang ada di kedua
bagian Indonesia itu, dengan yang ada di kedua benua tersebut. Kebanyakan
binatang yang ada di Indonesia bagian barat mempunyai kesamaan dengan yang ada
di daratan Asia, sementara yang berada di kawasan Indonesia Timur mempunyai
kemiripan dengan binatang yang ada di Benua Australia. Mungkinkah fenomena itu juga bisa
digunakan untuk merunut asal usul manusianya?
C. Beragam Teori
Muncul dan Berkembangnya Manusia
Kamu telah
mengetahui pada zaman apa manusia ada di muka bumi. Pertanyaan mendasar yang
mengemuka adalah pada periode apakah manusia itu muncul dan berkembang serta
dari manakah asal usulnya? Permasalahan inilah yang hingga saat ini menjadi
kontroversi dan perdebatan di antara para ilmuwan. Berikut ini kita
deskripsikan beberapa teori dan pendapat para ilmuwan yang berkaitan dengan
asal-usul serta perkembangan manusia.
a. Kalangan Evolusionis
Tokoh-tokoh pemikir Yunani Kuno
seperti Empodocles, Anaximander, dan Aristoteles berpendapat bahwa baik tumbuhan
maupun hewan itu mengalami evolusi dan dari tubuh binatang tertentu berevolusi
menjadi manusia. Mereka mengatakan bahwa binatang yang satu berasal dari
binatang yang lain.
b. Ernest Haeckel
(1834-1919)
Ilmuwan biologi dari Jerman ini berpendapat bahwa asal
usul kehidupan yang pertama berasal dari zat putih telur yang liat dan cair.
Akibat pengaruh dari luar maka terciptalah bakteri, amuba, binatang berongga,
ikan, amfibi, reptil, dan binatang yang menyusui anak. Binatang-binatang itn
saling memengaruhi satu dengan yang lainnya. Pada zaman tersier (ketiga) dari
binatang menyusui itu berkembang dan muncullah manusia. Haeckel berkesimpulan,
bahwa nenek . moyang manusia itu berasal dari bangsa kera atau monyet dalam
tingkatan yang teratur.
c. Charles Robert Darwin
(1809-1882)
Darwin adalah ilmuwan Inggris
yang kemudian dikenal sebagai tokoh evolusi itu, memaparkan teorinya menjadi
dua kelompok, yaitu:
1) Teori Descendensi atau
Turunan
Dalam bukunya yang berjudul The
Descen of Man (1871), Darwin berkata bahwa manusia lebih dekat dengan kera
besar di Afrika (gorila dan simpanse). Teori lainnya menyebutkan bahwa makhluk
yang lebih tinggi itu berasal dari makhluk yang lebih rendah. Akhirnya, semua
makhluk hidup bisa di-kembalikan kepada beberapa bentuk asal.
2) Teori Natural
Selection atau Seleksi Alam
Teori ini mencoba member!
keterangan tentang terjadinya tumbuh-tumbuhan dan binatang-binatang yang
menyesuaikan diri kepada alam sekitarnya. Darwinisme adalah sebuah teori yang
mengatakan bahwa semua barang-barang yang hidup dapat maju perlahan-lahan naik
ke atas. Keyakinan Darwin bahwa manusia itu berasal dari hewan, telah memicu
perdebatan antarilmuwan dan kontroversi bahkan hingga kini. Dalam kerangka
teori Darwin itu pulalah, berbagai penemuan fosil manusia purba yang ada di
Indonesia senantiasa dikaitkan.
Asal usul kehidupan awal manusia dan masyarakat di
Indonesia dengan beberapa cara yang bisa kita lakukan untuk melacak asal usul
kehidupan manusia dan masyarakat awal di Indonesia.
a. Berdasarkan Rumpun Kebahasaan
Menurut penelitian, penduduk di wilayah Indonesia (selain orang Irian dan
Halmahera) mempunyai banyak persamaan dalam hal ras, kebudayaan, serta bahasa.
Dengan menggunakan hukum-hukiim suara, kita bisa menemukan adanya rumpun
kebahasaan.
"Bahasa menunjukkan bangsa, tiada bahasa hilanglah bangsa," kata
Muhammad Yamin. Nah, ketika kita mempelajari bahasa Indonesia, kita mengenal
adanya rumpun bahasa yang meliputi kawasan Asia Tenggara yang . disebut rumpun
bahasa Austria. Rumpun bahasa ini terbagi menjadi dua kelompok yaitu bahasa
Austro-Asia yaitu bahasa-bahasa di India (Mundha) dan Mon Khmer di India
Belakang, serta bahasa Austronesia yang meliputi bahasa Indonesia,
Melanesia, Micronesia, dan Polinesia.
Menurut
Dr. H. Th. Fischer dalam bukunya Pengantar Antropologi Kebudayaan Indonesia,
bila ditinjau dari fisiknya maka penduduk asli Indonesia terdiri atas tiga
golongan. Pertama, golongan Negrito
dengan ciri-ciri berkniit hitam, ranibul keriling, tubuhnya kecil dan tingginya
rata-rata 1,5 m. Profil semacam ini terdapat pada orang Tapiro di Irian. Kedua, golongan Weddoid dengan
ciri khas rambut berombak tegang, lengkung alis menjorok ke depan, dan kulitnya
agak cokelat. Profil semacam ini terdapat pada bangsa Senoi di Malaka, Sakai di
Siak, Knbn di Palembang, dan Tomnna di Sulawesi. Ketiga, golongan Melayu
dengan ciri tubuh lebih tinggi dan ramping, wajahnya bundar, hidung pesek serta
berambut hitam. Golongan ini terbagi menjadi dua kelompok yaitu Proto-Melayu
dan Deutero-Melayu. Von Eichstedt menamakannya sebagai Palaeo-Mongolid.
Profil Proto-Melayu terdapat pada
suku bangsa Mentawai, Toraja, dan Dayak. Kelompok ini disebut juga Melayu Tua.
Profil Deutero-Melayu terdapat pada suku bangsa Sunda, Jawa, Minangkabau, Bali,
dan Makassar. Kelompok ini disebut juga kelompok Melayu Muda.
1. Bangsa Melayu Berasal dari Utara yaitu Asia
Tengah
Ada beberapa ilmuwan yang mengatakan bahwa bangsa
Melayu berasal dari daratan Asia bagian tengah. Sekilas akan kita deskripsikan
siapa tokoh dan teorinya dalam deskripsi berikut ini:
a)
Berdasarkan penelitian terhadap kapak tua (beliung batu)
yang ada di sekitar hulu Sungai Brahmaputra, Irrawaddy, Salween, Yangtze, dan
Hwang, mempunyai kemiripan dengan yang ada di Indonesia, la berkesimpulan bahwa
kapak tua itu dibawa oleh orang Asia Tengah ke Kepulauan Indonesia (R.H.
Geldern)
b) Setelah meneliti beberapa
perkataan yang digunakan sehari-hari terutama mengenai nama-nama tumbuh-tumbuhan,
hewan, dan nama perahu, terdapat persamaan bahasa baik di Indonesia,
Madagaskar, Filipina, Taiwan, dan Kepulauan Pasifik. Kesimpulannya: bahasa
Melayu itu berasal dari satu induk yang ada di Asia (J.H.C. Kern).
c) Kesimpulan penelitiannya
menunjukkan bahwa bahasa Melayu dan bahasa Polinesia (yang digunakan beberapa
pulau di Kepulauan Pasifik) ternyata serumpun. Sementara itu, E. Aymonier dan
A. Cabaton menemukan bahwa bahasa Campa serumpun dengan bahasa Polinesia, di
mana keduanya merupakan warisan dari bahasa Melayu Kontinental (W. Marsden).
d) Antara bahasa Melayu dan
bahasa Polinesia terdapat kesamaan pembentukan kata. Kedua bahasa itu berasal
dari bahasa yang lebih tua yang disebut Melayu Polinesia Purba. Sementara itu,
A.H. Keane menemukan bahwa struktur bahasa Melayu serupa dengan bahasa di
Kampuchea (J.R. Foster).
e) Ada kesamaan adat
kebiasaan antara suku bangsa Naga di Assam (daerah Burma dan Tibet) dengan suku
bangsa Melayu. Persamaan adat itu juga berkait erat dengan bahasanya. Dari situ
tentu bahasa Melayu berasal dari Asia. Pendapat Logan didukung oleh G.K. Nieman
dan R.M. Clark serta Slamet Muljana dan Asmah Haji Omar. Maka Slamet Muljana
berkesimpulan bahwa bahasa Austronesia (termasuk di dalamnya bahasa Melayu)
berasal dari Asia. Sedangkan Asmah Haji Omar menguraikan bahwa perpindahan
orang Melayu dari daratan Asia ke Indonesia tidak sekaligus. Ada yang melalui
daratan yaitu tanah semenanjung melalui Lautan Hindia, ada pula yang melalui
Laut Cina Selatan (J.R. Logam).
Secara ringkas, perpindahan orang Melayu dari Asia
Tengah dapat dijelaskan dengan merunut latar belakang asal usul orang Negrito,
Proto-Melayu, dan Deutero-Melayu. Sebelum kedatangan bangsa Melayu, Kepulauan
Indonesia dihuni oleh penduduk asli yang disebut sebagai orang Negrito. Mereka
hidup kira-kira sejak tahun 8000 Sebelum Masehi, tinggal di dalam
gua dengan mata pencaharian berburu binatang. Alat yang mereka gunakan terbuat
dari batu dan zaman ini disebut sebagai zaman batu pertengahan. Profil orang
ini ditemukan pada bangsa Austronesia yang menjadi cikal bakal orang Negrito,
Sakai, dan Semai yang hidup pada zaman paleolit dan mesolit.
Gelombang pertama kedatangan
orang-orang Asia Tengah diperkirakan pada tahun 2500 Sebelum Masehi. Mereka
disebut sebagai Proto-Melayu. Peradabannya lebih maju apabila dibandingkan
dengan orang Negrito, karena mereka telah pandai membuat alat bercocok tanam,
barang pecah belah, dan perhiasan. Kelompok ini hidup berpindah-pindah dan
hidup pada zaman neolitik atau zaman batu baru. Gelombang kedua terjadi pada
tahun 1500 Sebelum Masehi terdiri atas orang Deutero-Melayu. Peradabannya lebih
maju lagi apabila dibandingkan dengan orang Proto-Melayu. Mereka telah mengenal
kebudayaan logam karena menggunakan alat perburuan dan pertanian yang terbuat
dari besi. Selain itu,, mereka telah menetap di suatu tempat, mendirikan
kampung, bermasyarakat, dan menganut animisme. Mereka hidup di zaman logam di
sekitar pantai Kepulauan Indonesia. Kedatangan Deutero-Melayu ini mendesak
Proto-Melayu, hingga mereka pindah ke pedalaman.
2. Bangsa Melayu Berasal dari Nusantara
Ada beberapa ilmuwan yang mendukung teori ini. Beberapa
di antaranya bisa diperhatikan pada deskripsi di bawah ini.
a) Setelah membuat
perbandingan bahasa-bahasa di Sumatra, Jawa, Kalimantan, serta kawasan
Polinesia, ia berkesimpulan bahwa asal bahasa yang ada di Kepulauan Indonesia
berasal dari bahasa Jawa di Jawa dan bahasa Melayu di Sumatra. Kedua bahasa itu
merupakan induk bahasa-bahasa di Indonesia. Alasan yang ia kemukakan adalah
bahwa bangsa Jawa dan bangsa Melayu telah mencapai peradaban yang tinggi pada
abad XIX. Hal ini bisa dicapai, karena selama berabad-abad kedua bangsa itu
telah mempunyai kebudayaan yang maju. Kesimpulannya: orang Melayu tidak berasal
dari rnana-mana, tetapi merupakan induk yang menyebar ke tempat lain. Sedang
bahasa Jawa adalah bahasa tertua yang menjadi induk dari bahasa-bahasa yang
lain (J. Crawfurd).
b) Bangsa-bangsa berkulit
cokelat yang hidup di Asia Tenggara seperti Thailand, Malaysia, Singapura,
Indonesia, Brunei, dan Filipina adalah bangsa Melayu yang berasal dari rumpun
bahasa yang satu. Bahkan mereka bukan saja sama kulitnya, tetapi bentuk dan
anggota badannya sama dan membedakannya dari bangsa Cina di sebelah timurnya
atau bangsa India di sebelah baratnya (Sutan Takdir Alisyabana).
c) Dengan teori
leksikostatistik dan teori migrasi ia meneliti asal usul bangsa dan bahasa
Melayu. Kesimpulannya: tanah air dan nenek moyang bangsa Austronesia haruslah
daerah Indonesia dan Filipina yang dahulunya merupakan kesatuan geografis
(Gorys Keraf).
d)
Pada saat es mencair pada zaman kuarter (satu juta tahun
hingga 500.000 yang lalu), air menggenangi daratan-daratan yang rendah. Daratan
tinggi membentuk pulau dan memisah daratan-daratan rendah. Saat inilah
Semenanjung Malaka berpisah dengan daratan lain dan membentuk Kepulauan
Indonesia. Dampaknya adalah tiga kelompok Homo sapiens yaitu orang Negrito di
sekitar Irian dan Melanesia, orang Kaukasus di Indonesia Timur, Sulawesi dan
Filipina, serta orang Mongoloid di utara dan barat lautAsia, berpisah satu
dengan yang lain (Pendapat lainnya).
Dari deskripsi di atas, kita bisa merekonstruksi
kehadiran suatu bangsa dengan merunut penggunaan bahasanya. Perkembangan suatu
bahasa memang bisa meliputi suatu kawasan yang sangat luas dan terjadi dalam
kurun waktu yang lama. Dari studi kebahasaan ini, kita bisa mengetahui dari
mana sebuah bahasa berasal dan ke arah mana bahasa itu berkembang.
Dari sinilah kila bisa mengetahui bangsa yang menjadi pemakai bahasa tersebut.
b. Berdasar Temuan Arkeologis
Sungguh beruntung kita hidup di
wilayah Indonesia. Berbagai tempat di negara kita ternyata termasuk dalam
wilayah "dunia lama" yang menjadi salah satu situs tempat
ditemukannya manusia-manusia purba. Dari berbagai penemuan fosil di beberapa
tempat, kita bisa sedikit menguak bagaimana kehidupan manusia pada masa-masa
awal peradaban. Setidaknya ada tiga fosil yang bisa dijadikan pembuka tabir
kehidupan manusia di masa lampau.
Pada tahnn 1898 seorang dokter
Belanda, Engene Dubois menemukan sekelompok fosil di Lembah Sungai Bengawan
Solo (di Desa Kedung Brubus dan Trinil), yang terdiri atas tengkorak atas,
rahang bawah, dan sebuah tulang paha. Isi otak makhink itu lebih besar apabila
dibandingkan dengan jenis kera, namun jauh lebih kecil apabila dibandingkan
dengan isi otak mannsia. (Perbandingan isi otaknya adalah 800 cc:
1.500 cc). Gigi pada fosil itu
menunjukkan sifat manusia, sedang tulang pahanya menunjukkan ia bisa berdiri
tegak. Fosil ini kemudian ia namai dengan Pithecanthropus erectus atau
manusia kera yang berjalan tegak. Dubois meyakininya sebagai nenek moyang
manusia zaman sekarang. Benarkah teori Dubois tersebut?
Fenomena kehidupan manusia
Indonesia di masa lampau semakin terkuak, setelah sekitar dua puluh fosil
berhasil ditemukan di berbagai daerah antara tahun 1931-1934. Ahli geologi dari
Jerman yang bernama G.H.R. von Koenigswald menemukan empat betas fosil Pithecanthropus
yang terdiri atas dua betas tengkorak dan dua tibia (tulang kering) di Desa
Ngandong di sekitar Lembah Bengawan Solo. Semua fosil yang ditemukan pada
lapisan pleistosen tengah itu kemudian diteliti secara mendalam oleh ahli
palaeoantropologi kita yaitu Teuku Jacob. Dalam disertasi berjudul Some Problems
Pertaining to the Racial History of the Indonesian Region yang ia
pertahankan di Universitas Utrecht tahun 1967, fosil yang semula disebut Homo
soloensis itu kemudian ia sebut Pithecanthropus soloensis. Diduga
umurnya antara 800.000 hingga 200.000 tahun. Pada tahun 1938 ditemukan fosil di
Desa Perning (Mojokerto) dan Trinil (Surakarta) yang diperkirakan berumur 2.000.000 tahun dan diberi nama Pithecanthropus
Mojokertensis.
Von Koenigswald kembali menemukan
fosil di Sangiran pada tahun 1941 yang terdiri atas bagian rahang bawah (mirip
rahang manusia) dengan ukuran yang sangat besar bahkan melebihi ukuran gorila
jantan. jantan. Dari situ kemudian diberi nama Meganthropus palaeojavanicus
atau* Manusia Besar dari Jawa zaman kuno (mega=besar, anthropus=manusia).
Penemuan berikutnya terjadi di Desa Sangiran (lima fosil) dan Sambungmacan,
Sragen serta berbagai tempat lainnya hingga semua fosil berjumlah 41 buah.
Lalu, teori apa yang kita dapat
setelah menganalisis serangkaian penemuan fosil-fosil tersebut? Teuku Jacob
berpendapat bahwa makhluk pithecanthropus itu belum berbudaya. Alasannya
sebagai berikut. (1) Suatu fakta bahwa tidak pernah ditemukan adanya peralatan
di sekitar penemuan fosil, yang menunjukkan bahwa makhluk itu sudah berbudaya.
(2) Volume otak Pithecanthropus
masih terlampau kecil bila dibandingkan dengan makhluk manusia sekarang. Volume
otak bisa diperkirakan dari kapasitas rongga tengkoraknya. Dari hasil
penelitian diperoleh data bahwa volume otak Pithecanthropus erectus
sekitar 800 cc, Pithecanthropus soloensis (1.000 cc), sedang manusia
sekarang rata-rata 1.500 cc. Dengan demikian, sulit dipercaya bahwa makhluk itu
telah mempunyai akal. (3) Rongga mulut tengkorak Pithecanthropus
menunjukkan bahwa makhluk itu belum bisa menggunakan bahasa. Dengan
keterbatasan akal dan ketiadaan bahasa, sulit bagi makhluk ini untuk secara
sadar membuat pola-pola kehidupan yang teratur. Akal dan bahasa memang
merupakan kunci berkembangnya sebuah kebudayaan. Berkat adanya evolusi dan
adaptasi terhadap lingkungan alamnya, tentu makhluk ini juga berkembang pula
keahlian serta kebudayaannya.
Namun, terlepas dari perdebatan
dan kontroversi yang menyertai penemuan fosil-fosil itu, adasatu hal yang
disepakati oleh para ahli palaeoantropologi yaitu bahwa Pithecanthropus
(termasuk di dalamnya Meganthropus palaeojavanicus) dianggap sebagai
makhluk pendahuluan manusia di kawasan Asia, khususnya Asia Tenggara. Mereka
hidup 2.000.000 hingga 200.000 tahun yang lalu, terdiri atas kelompok-kelompok
berburu kecil beranggotakan 10 sampai 12 individu. Rata-rata setiap individu
berumur 20 tahun, sehingga Pithecanthropus yang berusia 10 tahun telah
merupakan makhluk dewasa. Maka, menjadi tidak mengherankan apabila di berbagai
tempat di Indonesia ditemukan kelompok-kelompok fosil dari makhluk purba. Hanya
saja, meskipun mereka mungkin telah menggunakan beberapa alat untuk membantu
keterbatasan kemampuan organismenya, namun mereka belum dianggap sepenuhnya
sebagai makhluk manusia yang berbudaya.
Itulah deskripsi singkat tentang beberapa teori
yang berkaitan dengan asal usul manusia di Indonesia. Tentu masih banyak lagi
teori-teori yang lain yang diungkapkan oleh sejumlah ilmuwan baik dari dalam
maupun dari luar negeri. Antara lain kamu bisa mencarinya di situs-situs yang
ada di internet atau melalui beragam pustaka. Misalnya pada situs http://www.harunyahya.com,
di sini kamu bisa mengikuti perdebatan seputar penemuan-penemuan manusia dari
beberapa ilmuwan. Dengan mengikuti perdebatan itu tentu kamu akan bertambah
kritis, luas wawasan dan tidak ketinggalan zaman dalam mengikuti perkembangan
mutakhir seputar teori-teori mengenai penemuan manusia.
D. Perkembangan
Manusia Purba di Indonesia
1. Kondisi Alam Indonesia
Konon pada zaman es, wilayah kita terbagi menjadi dua bagian. Wilayah barat
yang disebut Paparan Sunda menjadi satu dengan Asia Tenggara
kontinental. Paparan ini meliputi Jawa, Kalimantan, serta Sumatra dan menjadi
satu dengan daratan Asia Tenggara, sehingga merupakan wilayah yang luas.
Wilayah timur yang disebut Paparan Sahul menjadi satu dengan Benua
Australia. Wilayah yang terletak di antara Paparan Sunda dan Sahul itu meliputi
Kepulauan Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Maluku. Kawasan ini kelak, oleh Wallacea
disebut penyaring bagi fauna (bahkan manusia) di kedua daratan. Karenanya, tipe
fauna di kedua daratan cenderung berbeda satu dengan yang lainnya. Dengan
dukungan iklim serta suhu yang baik, evolusi tumbuhan dan hewan (termasuk
Primates) bisa berlangsung.
Pada masa itu, manusia hidup dalam kelompok-kelompok kecil di berbagai
daerah dengan mobilitas yang cukup tinggi. Jalur Indonesia-kontinen Asia bisa
mereka tempuh melalui rute darat, begitu pula dengan Indonesia-Australia.
Peralatan batu yang ditemukan di Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara serta di
Filipina, mungkin bisa digunakan untuk merunut kehidupan Pithecanthropus
yang tinggal di kawasan ini. Kemudahan komunikasi itu memungkinkan mereka untuk
mengadakan migrasi ke dalam dua arah yang berlawanan.
Perubahan mulai terjadi pada daratan dan kehidupan manusia, saat es
mulai mencair. Karena air laut menjadi lebih tinggi dan menutupi bagian-bagian
rendah dari kedua paparan, maka membentuk pulau-pulau baru yang saling
terpisah. Dampaknya adalah kelompok-kelompok manusia itu menjadi tercerai-berai
dan hidup di dalam pulau-pulau yang saling berlainan.
Fenomena alam itu tidak hanya sekali terjadi,
sehingga memungkinkan faktor-faktor evolusi seperti seleksi alam, arus gen, dan
efek perintis untuk bekerja. Hasilnya adalah populasi baru yang mungkin sekali
berbeda dengan induknya. Mungkin karena faktor hibridisasi yaitu pembauran gen
atau perjodohan antara dua golongan makhluk hidup. Mungkin pula
karena pigminasi yaitu proses pengerdilan individu sebagai akibat adanya
seleksi alam dan terbatasnya bahan makanan untuk populasi yang semakin
bertambah. Proses inilah yang antara lain mengakibatkan mengapa manusia purba
yang ditmukan di kawasan Sangiran berbeda dengan yang ditemukan di Flores pada
tahun 2004.
Nah, dengan latar belakang sejarah seperti itulah muncul kehidupan manusia
di bumi Indonesia. Lalu, seperti apa jenis manusia purba yang ada di Indonesia
dan sampai pada tahap apakah kebudayaan mereka? Pembelajaran berikut ini akan
memandumu dalam mengidentifikasi dan mendeskripsikan perkembangan manusia purba
di Indonesia.
2. Jenis Manusia Purba di
Indonesia
Seperti telah kamu
ketahui, bahwa manusia purba itu mempunyai bentuk dan sifat yang berbeda bila
di-bandingkan dengan manusia zaman sekarang. Tengkorak manusia purba cenderung
lebih kecil namun memanjang, rahangnya tebal namun tidak berdagu serta tidak
mempunyai dahi. Perbandingan semacam ini bisa kita peroleh setelah kita
menganalisis serangkaian penemuan fosil, baik yang berupa tengkorak maupun
tulang-tulang anggota badan lainnya.
Begitu pula saat kita nanti mendeskripsikan hasil-hasil budayanya.
Data-data tentang hasil budayanya itu bisa kita peroleh setelah kita
menganalisis fosil yang berwujud beragam bentuk peralatan yang diduga pernah
mereka gunakan. Lalu, untuk menentukan usia fosil itu kita harus menganalisis
lapisan bumi di ' mana fosil itu ditemukan, tentu dengan bantuan ilmu Geologi.
Dengan cara inilah, kita sekarang bisa mengklasifikasi jenis dan budaya manusia
purba di Indonesia.
Penemuan manusia purba di Indonesia terjadi pada akhir abad XIX. Bermula
dari dugaan Eugene Dubois bahwa manusia purba, monyet, dan kera itu biasanya
hidup di daerah tropis, karena iklimnya tidak banyak mengalami perubahan. Ada
tiga dasar teori yang digunakan Dubois sebagai acuan. Teori pertama, bahwa
pencarian missink link dalam evolusi manusia berasal dari daerah tropik.
Alasannya, berkurangnya rambut pada tubuh manusia purba hanya bisa terjadi pada
daerah tropika yang hangat. Teori kedua, Dubois mencatat bahwa dalam dunia
binatang, umumnya mereka tinggal di daerah geografis yang sama dengan asal
nenek moyangnya. Dari segi biologi, hewan yang paling mirip dengan manusia
adalah kera besar. Oleh karena itu, Dubois menduga bahwa nenek moyang kera
besar mempunyai hubungan kekerabatan (kinship) dengan manusia. Teori ketiga,
Dubois percaya bahwa Asia Tenggara merupakan asal usul manusia. Alasannya, di sana ada
orang utan dan siamang.
Penelitian pun dilakukan oleh
sejumlah peneliti luar negeri di berbagai tempat. Secara umum penelitian itu
terbagi menjadi tiga tahap yaitu periode 1889-1909, periode 1931-1941, serta
periode 1952 sampai sekarang. Dunia ilmu pengetahuan (terutama
Palaeoantropologi dan ilmu Hayat) menjadi gempar saat tahun 1889 Dubois
berhasil menemukan sejumlah fosil atap tengkorak di Wajak, Tulungagung, Kediri,
yang kemudian diikuti dengan penemuan-penemuan lain di Kedungbrubus dan Trinil.
Fosil itu disebut dengan Pithecanthropus erectus.
Namun sayangnya, sebagian besar fosil tersebut
kini tersimpan di Leiden, Belanda. Fosil lain berhasil ditemukan oleh ter Haar,
Oppenoorth, dan von Koenigswald di Ngandong, Blora, antara tahun 1931-1933,
berupa tengkorak dan tulang kering yang disebut Pithecanthropus soloensis.
Pada tahun 1936-1941, von Koenigswald kembali berhasil menemukan fosil rahang
dan gigi yang bemkuran besar serta tengkorak manusia purba di Sangiran, yang
kemudian disebut Meganthropuspalaeojavanicus. Selanjutnya, penelitian
pascakemerdeka-an banyak melibatkan ahli-ahli Indonesia, terutama di kawasan
Sangiran. Berikut ini adalah jenis manusia purba di Indonesia.
a. Meganthropus atau Manusia
Raksasa
Meganthropus berasal dari kata mega
yang berarti besar dan anthropus yang berarti manusia. Memang, apabila
fosil makhluk itu kamu amati, pasti kamu akan terperangah: besar rahang
bawahnya melebihi rahang gorila laki-laki. Fosilnya yang terdiri atas rahang
bawah, rahang atas,''serta gigi-gigi lepas ditemukan oleh von Koenigswald di
Pucangan tahun 1936-1941, dalam lapisan bumi pleistosen tua. Fosil ini kemudian
disebut Meganthropus Paleojavanicus atau manusia besar dari Jawa zaman
kuno.
Selanjutnya, rahang bawah yang lain ditemukan oleh
Marks di Kabuh tahun 1952. Namun, sejauh ini di kalangan ilmuwan nasih merasa
kesulitan untuk menempatkan Meganthropus di dalam evolusi manusia.
Apakah tergolong Pithecanthropus, Homo, atau Australopithecusl.
Pakar palaeoan-tropologi kita, Prof. Dr. Teuku Jacob, berpendapat bahwa Meganthropus
me-rupakan bentuk khusus (yang lebih besar) dari Pithecanthropus. Alasan
teorinya adalah ia berevolusi dengan cara adaptif, akibat pengaruh lingkung-an
alam'pada masa tertentu. Mungkin, seandainya rahang bawah itu ditemukan
bersama-sama dengan rahang atas dan tengkoraknya, misteri kehidupan Meganthropus
baru bisa terbuka.
b. Pithecanthropus atau Manusia Kera
Pithecanthropus berasal dari kata pithekos
yang berarti kera dan anthropus yang berarti manusia. Kebanyakan fosil
jenis inilah yang berhasil ditemukan di Indonesia. Mereka hidup pada zaman
pleistosen awal, tengah, dan akhir. Makhluk ini mempunyai ciri-ciri tinggi
badannya 165-180 cm, tubuh dan badannya tegap, gerahamnya masih besar,
rahangnya kuat, tonjolan kening tebal (melintang pada dahi dari pelipis ke
pelipis), tonjolan - belakang kepalanya nyata, belum berdagu, serta berhidung
lebar. Volume
otaknya berkisar antara 750 sampai 1.300 cc.
Makhluk jenis Pithecanthropus
juga ditemukan di kawasan yang lain. Di Cina Selatan ditemukan Pithecanthropus
lautianensis dan di Cina Utara disebut Pithecanthropus Pekinensis.
Mereka hidup 800.000 hingga 500.000 tahun yang lampau. Makhluk sejenis juga
ditemukan di Tanzania, Kenya, dan Aljazair di Afrika, serta di Eropa seperti di
Jerman Barat, Jerman Timur, Prancis, Yunani, dan Hongaria. Namun, kebanyakan
ditemukan di Indonesia. Ada beberapa jenis manusia purba yang tergolong ke
dalam Pithecanthropus, antara lain sebagai berikut.
1) Pithecanthropus Mojokertensis ( Manusia Kera
dari Mojokerto)
Jenis ini diduga merupakan manusia purba tertua
yang ada di Indonesia dan ditemukan tahun 1936 di Pucangan serta Mojokerto,
berupa tengkorak anak-anak berusia 6 tahun. Isi otaknya berkisar 650 cc. Fosil
ini ke-mudian disebut Pithecanthropus mojokertensis atau Pithecanthropus
robustus (robustus artinya besar). Dari hasil penelitian, bisa di-simpulkan bahwa makhluk
ini hidup pada 2,5 sampai 1,25 juta tahun yang lampau. Makhluk ini mempunyai
spesifikasi: berbadan tegap, tonjolan keningnya tebal, tulang pipinya kuat, dan
mu-kanya menonjol ke depan. Makhluk ini hidup bersama-an dengan Meganthropus, namun
sulit menghubung-kan evolusi keduanya.
2) Pithecanthropus
Erectus (Manusia Kera yang Berjalan Tegak)
Jenis ini merupakan generasi kedua manusia purba di
Indonesia. Yang fenomenal dari jenis ini adalah selain fosilnya ditemukan
paling awal, juga memiliki wilayah penyebaran yang cukup luas. Fosil jenis ini
terdiri atas atap tengkorak, tulang paha, serta beberapa fragmen tulang paha
yang ditemukan di Trinil tahun 1891. Fosil ini merupakan kepunyaan laki-laki
dengan isi otak kira-kira 900 cc. Dari penelitian terhadap tengkoraknya, Dubois
member! nama Pithecanthropus atau manusia kera dan dari tulang pahanya
ia member! nama erectus atau berjalan tegak. Tidak kurang dari 23 jenis
fosil berhasil ditemukan di berbagai daerah di kawasan Sangiran. Maka, tidak
aneh bila fakta dan cerita tentang kehidupan Pithecanthropus lebih
banyak kita peroleh dibandingkan dengan manusia purba dari jenis yang lain. Misalnya,
makhluk ini hidup sekitar sejuta hingga setengah juta tahun yang lalu,
mempunyai tinggi badan 160-180 cm dengan berat badan 80 sampai 100kg.
Yang membedakan Pithecanthropus
erectus dengan Pithecanthropus
Mojokertensis adalah besar isi tengkorak, tebal atap tengkorak,
bentuk tonjolan belakang kepala dan tonjolan kening, serta daerah telinga. Dari
fosi1 Pithecanthropus orectus yang berhasil ditemukan, kebanyakan berjenis
kelamin laki-laki. Diduga jenis perempuannya banyak yang meninggal saat
kehamilan dan persalinan.
3). Pithecanthropus Soloensis (Manusia Kera dari
Solo)
Nama Pithecanthropus
soloensis diberikan oleh ilmuwan kita Prof. Dr. Teuku Jacob setelah
meneliti 14 jenis fosi1 dari Desa Ngandong di Lembah Bengawan Solo sebelah
utara Trinil. Jenis ini merupakan generasi ketiga manusia purba di Indonesia.
Dari penemuan fosil yang ada di Sangiran dan Sambungmacan, makhluk ini
mempnnyai ciri khas: volume otak 1.000 sampai 1.300 cc, tengkoraknya lonjong,
tebal dan masif, tonjolan keningnya cukup nyata, dahinya lebih terisi, serta
tengkoraknya lebih tinggi dibanding kedua manusia terdahulu. Tanda-tanda yang lain
adalah akar hidungnya lebar dan rongga matanya sangat panjang, tinggi badannya
165 sampai 180 cm, serta tulang keringnya tegap. Dari identifikasi ini bisa
disimpulkan bahwa meskipun letak kepalanya di atas tulang belakang, namun belum
seperti letak kepala manusia saat ini.
Pithecanthropus soloensis yang hidup kira-kira 900.000
hingga 300.000 tahun yang lalu itu, secara evolutif lebih dekat dengan Pithecanthropus
Mojokertensis dibandingkan dengan Pithecanthropus Erectus.
Para ilmuwan menduga bahwa kedua makhluk itu
memang mem-punyai kaitan dalam hal evolusi. Yang membedakannya dengan kedua
manusia purba terdahulu adalah besarnya tengkorak, tonjolan kening, dan
tonjolan belakang kepala, daerah telinga dan daerah hidung. Hanya saja, volume
otaknya semakin bertambah, demikian pula otak kecilnya. Kamu tentu mengetahui
apa dampak yang muncul di balik berkembangnya volume otak ini. Dengan otak yang
semakin berkembang itu, Pithecanthropus Soloensis mulai menemukan dan
mempunyai cara hidup yang baru. Perubahan inilah yang menyebabkan berkembangnya
kebudayaan manusia-manusia purba di Indonesia. Oleh karena itu, ada beberapa
ahli yang mengelompokkan Pithecanthropus Soloensis ini ke dalam kelompok
Homo Neandertalensis. Bahkan, ada pula yang memasukkan-nya ke dalam
kelompok Homo Sapiens. Namun, sejauh ini para ilmuwan belum mencapai
kesepakatan.
4)
Homo ( Manusia)
Jenis Homo ini mulai
mendekati dengan bentuk manusia. Hidup pada zaman pleistosen muda. Sementara itu, dari
serangkaian fosi1 yang ditemukan diduga mereka hidup 200.000 tahun yang lalu.
Selain banyak jumlahnya dan ditemukan di berbagai tempat, fosilnya tidak hanya
berupa tengkorak melainkan juga berupa kerangka yang lengkap. Ada beberapa jenis
manusia purba dari kelompok Homo ini, antara lain sebagai berikut.
a). Homo Neandertalensis (Manusia dan Lembah Neander)
Fosil makhluk ini ditemukan
tahun 1856 di Lembah Sungai Neander dekat Kota Dusseldorf, Jerman. Fosil
sejenis juga ditemukan di Francis, Belgia, Jerman, Italia, Yugoslavia, serta
berbagai negara di Eropa. Di Palestina, fosil itu ditemukan di Gua Tabun dekat
Mount Carmel, sehingga disebut HomoPalestinensis. Semula, makhluk ini hanya
dianggap sebagai evolusi manusia yang kandas. Namun, setelah penemuan Homo
neandertalensis, para ilmuwan sepakat bahwa makhluk ini merupakan nenek
moyang salah satu ras manusia.
Yang cukup mengagumkan dari penemuan fosil-fosil
ini adalah ditemukan-nya beragam peralatan batu dan sisa-sisa kebudayaan lama
di dekat lokasi fosil. Hal itu menunjukkan, bahwa tingkat kehidupan mereka
sudah akrab dengan kebudayaan. Bahkan, di Eropa sering ditemukan bekas-bekas
api di sekitar penemuan fosil, yang diduga sebagai solusi atas dinginnya iklim
di daerah Glasial. Dari penelitian terhadap peralatan yang berhasil ditemukan
menunjukkan bahwa mereka sudah berburu. Peralatan batu selain digunakan untuk
senjata juga digunakan untuk memotong.
b). Homo Sapiens (Manusia Sekarang)
Generasi pertama dari manusia
sekarang mula-mula hidup pada lapisan pleistosen muda atau zaman glasial
terakhir (sekitar 80.000 tahun yang lampau). Mulai saat itu, tidak ditemukan
lagi makhluk-makhluk dari dua jenis terdahulu. Karena sejak zaman holosen, fosil
manusia yang berhasil ditemukan menunjukkan perbedaan empat ras pokok yang saat
itu ada di muka bumi. Keempatnya sebagai berikut.
(1) Ras Australoid yang kini
sisa-sisanya bisa kamu temukan di pedalaman Benua Australia. Fosil manusia dari
jenis ini ditemukan oleh Rietschoten tahun 1889 di Desa Wajak Kab. Tulungagung Jawa Timur,
di Lembah Sungai Brantas dalam lapisan pleistosen muda. Fosil ini berupa
tengkorak, fragmen rahang bawah, dan beberapa buah ruas leher. Pada tahun
berikutnya ditemukan pula fragmen tulang tengkorak, rahang atas dan bawah serta
tulang paha dan tulang kering. Dari hasil penelitian terhadap fosil itu
diperoleh beberapa kesimpulan. Tengkorak manusia ini tergolong besar dengan
volume otak 1.630 cc, mukanya datar dan lebar. Akar hidungnya lebar, dahinya
agak miring, di atas rongga mata ada busur kening yang nyata. Tinggi manusia
itu kira-kira 173 cm diteliti dari tulang pahanya. Manusia yang kerrtudian
disebut Homo Wajakensis itu diperkirakan hidup 40.000 tahun yang lampau,
tersebar di Paparan Sunda dan sebagian Indonesia Timur.
Prof. Dr. Teuku Jacob mengajukan sebuah teori,
bahwa di daerah Papua (Irian Jaya), telah berkembang suatu ras khusus dari ras
Wajak dan menjadi nenek moyang penduduk asli Australia sekarang. Salah satu
kemungkinan mengapa terjadi arus migrasi dari Irian ke Australia adalah, masih
utuhnya daratan di kedua bagian bumi itu. Laut saat itu belum terbentuk,
sehingga mobilitas manusia bisa merambah ke wilayah yang luas. Nah, dari
sinilah kita bisa merunut mengapa ras Wajak mampu menyebar hirigga ke Irian.
Bahkan, menurut Teuku Jacob, dari ras Wajak ini pulalah berkembang menjadi
penduduk Irian dan Melanesia.
(2) Ras Mongoloid adalah ras yang paling besar
jumlahnya dan luas wilayah penyebarannya, bahkan hingga saat ini. Fosil manusia
dari jenis ini ditemukan di Gua Chou-Kou-Tien (sebelah barat Beijing) Tiongkok
antara tahun 1927 dan 1937. Fosil yang berhasil ditemukan itu membuktikan bahwa
manusia ini memiliki kemiripan dengan Pithecanthropus yang ada di
Indonesia. Fosil ini kemudian diberi nama Pithecanthropus pekinensis.
Dari hasil penelitian terhadap fosilnya, diperoleh data bahwa ternyata
tengkoraknya lebih besar bila dibandingkan dengan Pithecanthropus Erectus,
dengan volume otak kira-kira 900 hingga 1.000 cc. Berarti volume otaknya telah
mendekati volume otak manusia sekarang. Apalagi di sekitar penemuan fosilnya
ditemukan serangkaian peralatan yang menunjukkannya telah memiliki kebudayaan.
Bermula dari manusia inilah, kemudian berkembang menjadi beragam ras Mongoloid
di Asia Timur, Asia Tenggara, Asia Tengah, Asia Utara, Asia Timur Laut, bahkan
hingga Benua Amerika Utara dan Selatan. Mereka diperkirakan hidup antara 40.000
hingga 30.000 tahun yang lampau. Kamu kini tentu bisa merunut, bangsa-bangsa
mana sajakah yang nenek moyangnya berasal dari Pithecanthropus Pekinensis
ini.
(3) Ras Kaukasoid yang menjadi cikal bakal
bangsa-bangsa di Eropa, Afrika bagian utara Gurun Sahara, Asia Barat Daya,
Australia serta Benua Amerika Utara dan Selatan. Fosil manusia yang berhasil
ditemukan di Desa Les Eyzies, Dordogne di Prancis, diperkirakan berasal dari
60.000 tahun yang lampau. Fosil manusia yang menjadi nenek moyang penduduk
Eropa sekarang itu kemudian disebut Homo Sapiens Cromagnonensis. Fosil
yang ditemukan itu mempunyai bentuk yang indah, tinggi, dan besar, mukanya
selaras dengan bentuk dahinya. Sisa-sisa manusia ini bisa dijumpai pada bangsa
Kabyl di Afrika Utara.
(4) Homo Sapiens yang mula-mula menunjukkan
ciri-ciri ras Negroid, ditemukan di Asselar sebelah timur laut Timbuktu
(di tengah-tengah Gurun Sahara). Fosil manusia ini oleh para ahli
palaeoantropologi diberi nama Homo
Sapiens Asselar, diperkirakan hidup 14.000 tahun yang lampau.
Ras
Negroid ini dianggap oleh para peneliti manusia purba sebagai ras
manusia yang paling muda
Dari
keempat jenis nenek moyang ras itulah, manusia berevolusi dan berkembang biak
menjadi besar serta beragam sifatnya. Masing-masing ras mempunyai spesifikasi
dan membentuk satuan sosial sendiri-sendiri.