KERAJAAN MATARAM KUNO
a. Lokasi Kerajaan
Kerajaan Mataram terletak di Jawa Tengah dengan daerah pusatnya disebut Bhumi Mataram. Daerah tersebut dikelilingi oleh pegunungan dan gunung-gunung, seperti Pegunungan Serayu, Gunung Prau, Gunung Sindoro, Gunung Sumbing, Gunung Ungaran, Gunung Merbabu, Gunung Merapi, Pegunungan Kendang, Gunung Lawu, Gunung Sewu, Gunung Kidul. Daerah itu juga dialiri banyak sungai, di antaranya Sungai Bogowonto, Sungai Progo, Sungai Elo, dan yang terbesar adalah Sungai Bengawan Solo.
Wilayah tersebut merupakan daerah tertutup, namun subur. Kesuburan tanah itu memudahkan pertambahan peduduk, sehingga peranan dan kekuatan masyarakat di daerah itu cukup besar dan merupakan kekuatan utama bagi negara.
Sebelah selatan Bhumi Mataram adalah Lautan Indonesia, tetapi laut itu sulit untuk dilayari. Sedangkan pelayaran dan perdagangan lebih banyak dilakukan melalui pantai utara Pulau Jawa, yang agak jauh dari Bhumi Mataram. Oleh karena itu, mata pencaharian utama dari rakyatnya adalah pertanian, sementara bidang perdagangan kurang mendapat perhatian.
Kerajaan Mataram terletak di Jawa Tengah dengan daerah pusatnya disebut Bhumi Mataram. Daerah tersebut dikelilingi oleh pegunungan dan gunung-gunung, seperti Pegunungan Serayu, Gunung Prau, Gunung Sindoro, Gunung Sumbing, Gunung Ungaran, Gunung Merbabu, Gunung Merapi, Pegunungan Kendang, Gunung Lawu, Gunung Sewu, Gunung Kidul. Daerah itu juga dialiri banyak sungai, di antaranya Sungai Bogowonto, Sungai Progo, Sungai Elo, dan yang terbesar adalah Sungai Bengawan Solo.
Wilayah tersebut merupakan daerah tertutup, namun subur. Kesuburan tanah itu memudahkan pertambahan peduduk, sehingga peranan dan kekuatan masyarakat di daerah itu cukup besar dan merupakan kekuatan utama bagi negara.
Sebelah selatan Bhumi Mataram adalah Lautan Indonesia, tetapi laut itu sulit untuk dilayari. Sedangkan pelayaran dan perdagangan lebih banyak dilakukan melalui pantai utara Pulau Jawa, yang agak jauh dari Bhumi Mataram. Oleh karena itu, mata pencaharian utama dari rakyatnya adalah pertanian, sementara bidang perdagangan kurang mendapat perhatian.
b. Dinasti Sanjaya
1) Sumber Sejarah
Bukti-bukti
 berdirinya Dinasti Sanjaya dapat diketahui melalui Prasasti Canggal 
(daerah Kedu) tahun 732 M, Frasasti Balitung, Kitab Carita Parahyangan.
Prasasti
 Canggal (732 M) Prasasti ini dibuat pada masa pemerintahan Raja Sanjaya
 yang berhubungan dengan pendirian lingga yang merupakan perwujudan Dewa
 Siwa. Hal ini menunjukkan bahwa agama yang dianutnya adalah agama 
Hindu.
Prasasti Balitung (907 M) Prasasti ini adalah prasasti tembaga
 yang dikeluarkan oleh Raja Diah Balitung. Diah Balitung mengeluarkan 
prasasti ini sehubungan dengan pemberian hadiah tanah kepada lima orang 
patihnya di Mantyasih, karena kelima patihnya itu telah berjasa besar 
terhadap kerajaan. Dalam prasasti itu disebutkan nama raja yang pernah 
memerintah pada Kerajaan Mataram dari Dinasti Sanjaya.
Kitab Carita Parahyangan Kitab ini menceritakan tentang hal ikhwal raja-raja Sanjaya.
2) Kehidupan Politik
Kerajaan
 Mataram diperintah oleh raja-raja keturunan dari Dinasti Sanjaya. 
Raja-raja yang pernah berjasa di Kerajaan Mataram di antaranya:
Rakai
 Mataram Sang Ratu Sanjaya Menurut Prasasti Canggal (732 M), Raja 
Sanjaya adalah pendiri Kerajaan Mataram dari Dinasti Sanjaya. Raja 
Sanjaya memerintah dengan sangat adil dan bijaksana sehingga. rakyatnya 
terjamin aman dan tentram;
Di dalam masalah keagamaan. Raja Sanjaya 
mendatangkan pendeta-pendeta Hindu beraliran Siwa. Dari para pendeta 
itu, raja dapat mernper-dalam agama Hindu Siwa. Pemujaan yang tertinggi 
di Kerajaan Mataram diberikan kepada Dewa Siwa yang dianggap sebagai 
dewa tertinggi. Untuk memuja dewa itu, didirikan candi-candi.
Raja 
Sanjaya meninggal kira-kira pertengahan abad ke-8 M. la digantikan oleh 
Rakai Panangkaran. Berturut-turut pengganti Rakai Panangkaran adalah 
Rakai Warak dan Rakai Garung. Ketiga raja ini tidak begitu jelas 
diketahui bentuk-bentuk pemerintahannya, karena kurangnya bukti-bukti 
yang menginformasikan sepak terjang mereka.
Sri Maharaja Rakai 
Pikatan Setelah Rakai Garung meninggal, Rakai Pikatan naik tahta. 
Sebagai raja, ia mempunyai cita-cita untuk menguasai seluruh wilayah 
Jawa Tengah. Untuk melaksanakan cita-citanya itu/ Rakai Pikatan harus 
berhadapan dengan Kerajaan Syailendra yang pada saat itu diperintah oleh
 Raja Balaputra Dewa. Perang tidak mungkin dilaksanakan, karena kekuatan
 Kerajaan Syailendra melebihi kekuatan Kerajaan Mataram. Karena itu, 
jalan yang ditempuh Rakai Pikatan adalah meminang putri dari Kerajaan 
Syailendra yang bernama Pramodhawardani. Seharusnya Pramodhawardani 
berkuasa atas Kerajaan Syailendra, tetapi ia menyerahkan tahtanya kepada
 Balaputra Dewa.
Untuk mencapai cita-citanya, Rakai Pikatan mendesak 
Pramodhawardani agar mau menarik tahtanya kembali dari Balaputra Dewa, 
sehingga meletus perang saudara. Dalam perang itu. Raja Balaputra Dewa 
dapat dikalahkan dan lari ke Kerajaan Sriwijaya.
Sri Maharaja Rakai 
Kayuwangi Dalam menyatukan pemerintahannya, Rakai Kayuwangi dibantu oleh
 suatu Dewan Penasehat merangkap staf pelaksana yang terdiri atas lima 
patih dan diketuai oleh seorang mahapatih. Di samping itu, Rakai 
Kayuwangi berusaha keras untuk memajukan pertanian, karena pertanian 
akan dapat menunjang aktivitas kehidupan perekonomian rak¬yatnya. Dalam 
bidang keagamaan, perhatian raja sangat besar. Hal ini dibuktikan dari 
prasasti yang ditemukan di daerah Dieng dan Plaosan.
Sri Maharaja 
Rakai Watuhumalang Masa pemerintahan Rakai Watuhumalang tidak dapat 
diketahui dengan jelas, karena prasasti-prasasti yang berasal dari masa 
pemerintahannya tidak ada yang menyebutkan masa peme¬rmtahannya. 
Prasasti-prasasti terse¬but lebih banyak membicarakan masalah-masalah 
keagamaan. Oleh karena itu, pada masa pemerintahan Rakai Watuhumalang, 
masalah keagamaan mendapat perhatian lebih khusus daripada masalah 
pemerin¬tahan.
Sri Maharaja Watukura Dyah Balitung Raja Dyah Balitung
 adalah seorang raja Mataram yang besar dan cakap. la berhasil mengatasi
 masalah yang dihadapi Kerajaan Mataram
dari masa pemerintahannya 
tidak ada yang menyebutkan masa peme¬rmtahannya. Prasasti-prasasti 
terse¬but lebih banyak membicarakan masalah-masalah keagamaan. Oleh 
karena itu, pada masa pemerintahan Rakai Watuhumalang, masalah keagamaan
 mendapat perhatian lebih khusus daripada masalah pemerin¬tahan.
Sri 
Maharaja Watukura Dyah Balitung Raja Dyah Balitung adalah seorang raja 
Mataram yang besar dan cakap. la berhasil mengatasi masalah yang 
dihadapi Kerajaan Mataram dan mempersatukan kembali kerajaan-kerajaan 
yang hampir terpecah belah akibat pertentangan antarkaum bangsawan. 
Kesejahteraan rakyat meningkat dan keamanan terjamin, bahkan daerah 
kekuasaannya meluas hingga ke Jawa Timur.
Diah Balitung memerintah 
Mataram sampai tahun 910 M. Masa pemerintahannya banyak meninggalkan 
prasasti. Prasasti terpenting adalah Prasasti Mantyasih (Kedu) yang 
berisi tentang silsilah raja-raja Mataram dari Raja Sanjaya sampai 
dengan Raja Diah Balitung.
Pada masa pemerintahannya dikenal adanya 
tiga jabatan penting, yaitu Rakryan I Hi-no (pejabat tertinggi di bawah 
raja). Selanjutnya Rakryan I Halu dan Rakryan I Sirikan. Ketiga jabatan 
ini merupakan tritunggal dan nama jabatan ini terus dipakai oleh 
kerajaan-kerajaan berikutnya pada zaman Singasari-Majapahit.
Sri 
Maharaja Daksa Pengganti Diah Balitung adalah Daksa. Sebelum menjadi 
Raja Mataram ia menjabat sebagai Rakryan I Hino. Pada masa 
pemerintahan¬nya, pembuatan Candi Prambanan berhasil diselesaikan. Masa 
pemerintahan Raja Daksa tidak berlangsung lama dan digantikan oleh 
Tulodhong. Masa pemerintahan Tulodhong sangat singkat dan tidak terjadi 
hal-hal yang menonjol atau penting.
Sri Maharaja Rakai Wawa Pengganti
 Raja Tulodhong adalah Rakai Wawa. Dalam menjalankan pemerintahannya ia 
dibantu oleh Mpu Sindok yang menjabat sebagai Rakryan I Hino. Pada masa 
pemerintahannya terjadi kekacauan yang menjalar sampai ke ibukota 
kerajaan. Kekacauan itu dapat diatasi, sehingga keamanan dapat 
dipulihkan kembali.
Setelah Rakai Wawa meninggal, ia digantikan oleh 
Mpu Sindok. Narnun, karena rasa khawatir terhadap serangan-serangan yang
 dilancarkan oleh Sriwijaya, maka Mpu Sindok memindahkan pusat 
pemerintahannya, dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Sejak itu, berakhirlah 
kekuasaan Kerajaan Mataram di Jawa Tengah.
c.  Dinasti Syailendra
Pada
 pertengahan abad ke-8 M di Jawa Tengah bagian selatan, yaitu di daerah 
Bagelan dan Yogyakarta, memerintah seorang raja dari Dinasi Syailendra. 
Kerajaannya juga dikenal dengan Kerajaan Syailendra. Ber-dasarkan 
bukti-bukti peninggalan Kerajaan Syailendra yang berupa candi-candi, 
wilayah kekuasaan Syailendra meliputi wilayah Jawa Tengah bagian 
selatan, yaitu wilayah Yogyakarta dan sekitarnya.
Pada masa 
pemerintahan Raja Balaputra Dewa, diketahui bahwa pusat kedudukan 
Kerajaan Syailendra terletak di daerah pegunungan di sebelah selatan. 
Hal mi berdasar pada letak peninggalan istana Ratu Boko.
1) Sumber Sejarah
Sumber
 sejarah Kerajaan Syailendra tidak begitu banyak yang berhasil 
diketahui, baik berupa prasasti maupun peninggalan-peninggalan 
arkeologi. Prasasti-prasasti yang berhasil ditemukan di antaranya 
sebagai berikut.
Prasasti Kalasan (778 M) Prasasti ini menyebutkan 
tentang seorang raja dari Dinasti Syailendra (Kerajaan Syailendra) yang 
berhasil menunjuk Rakai Panangkaran untuk mendirikan satu bangunan suci 
bagi Dewi Tara dan sebuah bihara untuk para pendeta. Rakai Panangkaran 
akhirnya meng-hadiahkan Desa Kalasan kepada Sanggha Buddha.
Prasasti 
Kelurak (782 M) di daerah Prambanar Prasasti ini menyebutkan pembuatan 
area Manjusri yang merupakan perwujudan Sang Buddha, Wisnu, Manjusri dan
 Sanggha, yang dapat disamakan dengan Brahma, Wisnu, Siwa. Prasasti ini 
juga menyebut nama raja yang memerintah saat itu, yang bernama Raja 
Indra.
Prasasti Ratu Boko (856 M) Prasasti ini menyebutkan kekalahan 
Raja Balaputra Dewa dalam perang saudara melawan kakaknya 
Pramodhawardani dan selanjutnya melarikan diri ke Sriwijaya.
Prasasti
 Nalanda (860 M) Prasasti ini menyebutkan tentang asal usul Raja 
Balaputra Dewa. Disebutkan bahwa Balaputra Dewa adalah. putra dari Raja 
Samarotungga dan cucu dari Raja Indra (Kerajaan Syailendra di Jawa 
Tengah).
2) Kehidupan Politik
Pada akhir abad ke-8 M, Dinasti 
Sanjaya terdesak oleh dinasti lain, yaitu Dinasti Syailendra. Peristiwa 
ini terjadi ketika Dinasti Sanjaya diperintah oleh Rakai Panangkaran. 
Hal itu dibuktikan melalui Prasasti Kalasan (tahun 778 M) yang 
menyebutkan bahwa Rakai Panangkaran mendapat perintah dari Raja Wisnu 
untuk mendirikan Candi Kalasan (candi Buddha).
Walaupun kedudukan 
raja-raja dari Dinasti Sanjaya telah terdesak oleh Dinasti Syailendra, 
namun kedudukan mereka sebagai raja yang terhormat tetap diakui. Hanya 
saja harus tunduk terhadap raja-raja Syailendra sebagai penguasa 
tertinggi atas seluruh Mataram.
Berdasarkan prasasti yang telah ditemu¬kan dapat diketahui raja-raja yang pernah memerintah Dinasti Syailendra, di antaranya:
Raja
 Indra Dinasti Syailendra menjalankan politik ekspansi pada masa 
pemerintahan Raja Indra. Periuasan wilayah ini ditujukan untuk menguasai
 daerah-daerah sekitar Selat Malaka. Selanjutnya, yang memperkokoh 
pengaruh kekuasaan Syailendra terhadap Sriwijaya adalah karena Raja 
Indra menjalankan pernikahan politik. Raja Indra mengawinkan putranya 
yang bernama Samarottungga dengan putri Raja Sriwijaya.
Raja 
Samarottungga Pengganti Raja Indra bernama Samarottungga. Fada zaman 
kekuasaannya dibangun Candi Borobudur. Namun sebelum pembangunan Candi 
Borobudur selesai, Raja Samarottungga meninggal dan digantikan oleh 
putranya yang bernama Balaputra Dewa yang merupakan anak dari selir. 
Tetapi sebenamya yang berhak menggantikan adalah putrinya yang lahir 
dari permaisuri yang bernama Pramodhawardani. Dia menolak, karena tidak 
mungkin sanggup untuk memerintah. Akhirnya tahta kerajaan diserahkan 
kepada Balaputra Dewa (adik tirinya).
Setelah Pramodhawardani menikah
 dengan Rakai Pikatan (yang ingin mempersatukan seluruh kekuasaan di 
Jawa Tengah di bawah pemerintahan Dinasti Sanjaya) terjadi berbagai 
perubahan. Rakai Pikatan mendesak Pramodhawardani untuk menarik tahtanya
 kembali, sehingga terjadilah perang saudara antara Pramodhawardani yang
 dibantu oleh Rakai Pikatan dengan Balaputra Dewa. Dalam perang saudara 
itu Balaputra Dewa Kala di Bukit Ratu Boko (Prasasti Ratu Boko tahun 856
 M) dan selanjutnya melarikan diri ke Sriwijaya, serta langsung diangkat
 menjadi raja di Sriwijaya.

 
