Pranatacara dalam Bahasa Jawa
1. Pengertian
Pranatacara atau sering disebut pambyawara, pranata adicara, pranata titilaksana atau pranata laksitaning adicara adalah salah satu jenis pekerjaan yang berhubungan dengan suatu pertemuan atau acara dalam masyarakat Jawa. Pranatacara dalam bahasa Indonesia disebut pewara. Pranatacara merupakan pembawa acara dalam upacara adat Jawa seperti pernikahan (temanten), kematian (kesripahan), pertemuan (pepanggihan), perjamuan (pasamuan), pengajian (pengaosan), pentas, dan sebagainya.
Profesi pranatacara sudah mendapat pengakuan dan memperoleh penghargaan yang baik dari masyarakat dan berkembang menjadi suatu profesi yang menguntungkan. Peran pranatacara dalam acara-acara resmi maupun hiburan, tetap menjadi tolak ukur dari sukses tidaknya suatu acara, sehingga dapat dibayangkan bagaimana bila suatu acara tidak ada pranatacaranya, maka acara tersebut akan terasa tidak urut dan tidak enak dilihat. Untuk menjadi seorang pranatacara tidak hanya mempunyai bekal keberanian, tetapi juga harus mempunyai bekal kemampuan. Keberanian akan timbul apabila seseorang mempunyai rasa percaya diri yang tinggi, dan rasa percaya diri ini timbul bila seseorang tersebut mempunyai keyakinan atas kemampuan yang dimiliki.
ilustrasi |
2. Syarat menjadi pranatacara
Seorang pranatacara harus dapat melafalkan dengan benar kata-kata bahasa Jawa krama inggil. Iapun diwajibkan mampu mengendalikan suaranya agar tetap menarik dan tidak menjemukan. Selain suara, nafas juga harus di kendalikan secara teratur. Beberapa syarat yang biasanya menjadi dasar bagi seorang pranatacara agar mampu melaksanakan tugasnya adalah sebagai berikut:
a. Olah swara (teknik vocal)
Suara adalah anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa, artinya adalah bahwa setiap orang memiliki bobot suara yang berbeda-beda antara satu orang dengan orang lainnya. Ada yang tinggi, sedang, dan kecil. Dalam bahasa Jawa, suara yang bagus disebut gandhang, yaitu tidak berisik, pelan dan nyaman didengar. Suara gandhang enak didengar, penuh wibawa, dan menunjukkan kepribadian. Sebagai pranatacara, maka suara adalah hal pertama yang harus diperhatikan sebelum memulai aktivitas kepranatacaraannya. Berikut ini adalah beberapa hal yang membantu pranatacara dalam olah swara (teknik vocal).
1. Aksentuasi (accentuation) atau logat. Suara pranatacara tidak tercampur dengan dialek atau logat daerah, artinya suaranya menggunakan bahasa baku. Dalam bahasa Jawa, yang dianggap baku adalah logat/dialek Surakarta dan Ngayogyakarta hadiningrat. Untuk dialek tidak baku seperti dialek Banyumas, Jawa Timuran dan lainnya bisa digunakan dalam acara santai atau sebagai selingan agar acara tidak terasa sepi sunyi.
2. Artikulasi (articulation) atau pocapan. Yaitu kejelasan pengucapan kalimat dan pelafalan kata. Huruf mati dan huruf hidup diucapkan dengan tegas dan jelas, tidak mendengung (bindheng). Pranatacara harus mengerti cara pengucapan bahasa Jawa dengan benar, begitu juga bahasa Indonesia atau bahasa asing yang mungkin harus diucapkan ketika ada tamu yang tidak mengerti bahasa Jawa krama Inggil. Kekeliruan dalam mengucapkan suatu kata bisa merendahkan kewibawaan pranatacara.
3. Nafas (breath) atau prana. Nafas tidak dipaksakan, tidak terengah-engah, sehingga tampak wajar. Dengan pengaturan nafas yang baik, maka seorang pranatacara bisa memberi jeda frasa, kalimat, ungkapan (basa pinathok) dan pernyataan dengan tepat maknanya. Sikap berdiri yang tegak, rileks, pakaian yang longgar/tidak sesak di badan, dapat melonggarkan aliran nafas sehingga suara menjadi lebih alami.
4. Kecepatan (speed) bicara dan Intonasi (intonation) nada suara atau membat mentul swara. Hal ini berhubungan dengan intonasi, aksen, pacing (tempo), pitch (nada), juncture (titik waktu). Intonasi berkenaan dengan pungtuasi seperti koma, titik, titik koma, tanda perintah, tanda tanya. Aksen berkenaan dengan stress (tekanan). Pitch berkenaan dengan tinggi rendahnya suara sesuai dengan acara yang sedang digelar. Untuk acara resmi seperti temanten, kesripahan, pahargyan, menggunakan suara rendah, kalem, namun untuk acara hiburan menggunakan suara tinggi. Tempo berkenaan dengan cepat dan lambatnya suara. Juncture berkenaan dengan waktu pengambilan nafas agar nafas tidak terengah-engah saat menjalankan acara.
5. Empati atau kajiwa. Suara yang diucapkan harus bisa menyesuaikan dengan kondisi kejiwaan suatu acara. Pengucapan harus sesuai dengan suasana acara apakah acara tersebut memiliki unsur senang, susah, doa, atau gembira.
6. Infleksi atau lagu kalimat (perubahan nada suara). Lebih baik hindari pengucapan yang sama bagi setiap kata (redundancy). Infleksi naik menunjukkan adanya lanjutan kalimat atau menurun untuk menunjukkan akhir kalimat.
b. Olah raga lan busana (penampilan)
Di dalam bahasa Jawa terdapat sebuah peribahasa ajining dhiri gumantung kedaling lathi, ajining raga gumantung ing busana. Peribahasa tersebut sangat sesuai dengan profesi pranatacara. Seorang pranatacara akan tampil dengan sangat bagus jika didukung oleh bagusnya suara, postur badan dan pakaiannya. Olah raga berhubungan dengan sikap, solah bawa, kesusilaan, dan subasita. Berikut ini adalah tujuh bentuk olah raga sebagai pranatacara:
Di dalam bahasa Jawa terdapat sebuah peribahasa ajining dhiri gumantung kedaling lathi, ajining raga gumantung ing busana. Peribahasa tersebut sangat sesuai dengan profesi pranatacara. Seorang pranatacara akan tampil dengan sangat bagus jika didukung oleh bagusnya suara, postur badan dan pakaiannya. Olah raga berhubungan dengan sikap, solah bawa, kesusilaan, dan subasita. Berikut ini adalah tujuh bentuk olah raga sebagai pranatacara:
1. Magatra: badan, wajah, cara berdandan dan berpakaian, sesuai, pantas, sikap wajar, tidak dibuat-buat.
2. Malaksana: cara melangkah dan berjalan selangkah dua langkah urut, luwes, tidak ragu-ragu.
3. Mawastha: berdiri tegak, tidak menyondong.
4. Maraga: mantap, tenang, tidak gemetaran, kepala tegak, menatap ke depan, gerakan tangan teratur untuk menunjukkan kejelasan ucapan.
5. Malaghawa: terampil, lancar, tidak lambat namun juga tidak terlalu cepat.
6. Matanggap: tanggap terhadap situasi yang dihadapi, ketika berhadapan dengan situasi acara yang membutuhkan ketenangan, kekusyukan, bisa ikut tenang dan khusyu’, jika berhadapan dengan situasi acara yang membutuhkan suasana segar dan menyenangkan, bisa ikut membuat suasana menjadi gembira, dan sebagainya.
2. Malaksana: cara melangkah dan berjalan selangkah dua langkah urut, luwes, tidak ragu-ragu.
3. Mawastha: berdiri tegak, tidak menyondong.
4. Maraga: mantap, tenang, tidak gemetaran, kepala tegak, menatap ke depan, gerakan tangan teratur untuk menunjukkan kejelasan ucapan.
5. Malaghawa: terampil, lancar, tidak lambat namun juga tidak terlalu cepat.
6. Matanggap: tanggap terhadap situasi yang dihadapi, ketika berhadapan dengan situasi acara yang membutuhkan ketenangan, kekusyukan, bisa ikut tenang dan khusyu’, jika berhadapan dengan situasi acara yang membutuhkan suasana segar dan menyenangkan, bisa ikut membuat suasana menjadi gembira, dan sebagainya.
7. Mawwat: mantab, menyelesaikan acara dengan baik, sesuai dengan yang diharapkan penyelenggara acara.
Olah raga, atau cara berpenampilan yang baik bagi seorang pranatacara
selalu diawali dengan keadaan tubuh yang sehat, suara yang tidak serak,
volume suara yang enak didengar, tidak melengking dan tidak rendah. Ia
harus mengenali tempat dimana acara akan diselenggarakan, mengenali
karakteristik tamu dan memandang mereka sebagai sahabat. Ia bisa
melakukan gerakan tangan seperlunya saat berada di atas pentas, tidak
berlebihan apalagi untuk menutupi kegugupan, karena gerakan tubuh yang
berlebihan hanya akan mengacaukan penampilan dan tampil percaya diri.
Olah busana atau cara berpakaian yang baik bagi seorang pranatacara merupakan hal yang wajib diketahui dan dimengerti dengan baik agar penampilan dan gaya berpakaian sesuai dengan acara yang sedang dibawakan. Memakai pakaian yang serasi/cocok dengan acara, harus dibicarakan dengan panitia acara, contohnya ketika menjadi pranatacara adat temanten Jawa, apakah menggunakan pakaian adat/kejawen (busana adat Ngayogyakarta atau Surakarta), seragam dengan panitia ataukah tidak, menggunakan busana nasional/formal ataukah tidak. Busana dalam acara pernikahan tentu akan berbeda dengan busana ketika menjadi pranatacara kematian. Busana resmi akan berbeda dengan busana santai. Busana yang dipakai dalam acara yang diselenggarakan didalam gedung pasti akan berbeda dengan acara yang diselenggarakan dirumah. Warna busanapun harus dipilih dengan seksama, agar tidak terlihat menyolok, terlalu terang, atau terlalu banyak memakai aksesoris.
c. olah basa lan sastra (kemampuan berbahasa dan sastra)
Agar dapat mengolah bahasa dengan baik, seorang pranatacara harus mengetahui dan memahami paramasastra (fonologi, morfologi, semantik, sintaksis), wacana, dan pragmatik. Pengetahuan yang luas mengenai paramasastra Jawa diharapkan dapat membuat pranatacara mampu mengucapkan kata-kata, frasa, kalimat, ungkapan, wacana Bahasa Jawa krama inggil dengan laras dan leres. Laras artinya, pranatacara mampu menggelar acara sesuai dengan keadaan dan suasana. Leres artinya pranatacara bisa menggunakan bahasa yang sesuai dengan paramasastranya.
Bahasa Jawa memiliki pola bahasa yang bertingkat-tingkat, yakni: basa krama, madya, dan ngoko. Basa krama yang biasanya dipakai sebagai bahasa pengantar bagi pranatacara dalam melaksanakan tugas kepranatacaraannya. Bahasa Jawa juga memiliki basa Jawa baru dan lama. Rerengganan biasanya memakai bahasa Jawa lama/kawi yang memiliki aspek sastra tinggi. Untuk menampilkan ciri sastra, pranatacara menggunakan purwakanthi (limaksita, sastra, swara) atau nyekar (tembang).
Contoh purwakanthi lumaksita (purwakanthi basa):
Nun inggih naming Dhimas Sujatmika ingkang kuwawi methik puspita, puspita cempaka, cempaka kang lagya ambabar ganda arum, boten sanes inggih naming Risang Ahayu Retna Kumala. (dikutip dari Pringgawidagda, 1998: 20)
Contoh purwakanthi sastra:
- Bokmenawi atur kula wonten cicir cewet kuciwanipun, kula nyuwun agunging pangaksama.
- Wijang wijiling wicara panjenenganipun Rama Sudira kang pindha pinandhita paring sesuluh seserepan dhumateng rising temanten kekalih.
- Gumarenggeng ambrengengeng kadya sasra bremana ingkang mider hangupeng puspita, hanenggih menika rata kencana ingkang tinitihan dening putra calon penganten kakung ingkang sampun manjing gapuraning palataran. (dikutip dari Pringgawidagda, 1998: 20)
Ketika penganten hendak melakukan kirab, maka pranatacara dapat melantunkan sekar kinanthi:
Arsa tedhak sang Dyah Ayu, Keng raka tansah kinanthi, Bagus Dendy setiawan, Kalian Dewi Sitoresmi, arsa kirab kanarendran,Gandheng renteng kanthen nyari.
Ketika selesai pahargyan, pranatacara melantunkan sekar pucung:
Sampun rampung pahargyan temantenipun, Kanthi karaharjan, Binerkahan mring Hyang Widhi, Sri panganten binedhol nuju wiwara.
d. pangrengga swara (sound system)
Kemajuan teknologi membantu pranatacara mengolah suaranya. Suara yang pelan bisa terdengar lebih jelas, suara yang enteng akan terdengar lebih mantab. Dekat dan jauhnya letak mikrofon dari mulut pranatacara bisa dipakai untuk membedakan suara berat, ringan, pelan, cepat, dan memperjelas desis ketika melafalkan kata-kata bahasa Jawa dalam tingkatan krama inggil.
e. papan (tempat)
Tempat dimana seorang pranatacara harus berdiri haruslah sesuai dengan suasana, tidak terlalu dekat dengan tamu, dan tidak terlalu jauh dari tamu apalagi tidak terlihat sama sekali oleh tamu. Yang paling ideal adalah tempat dimana seorang pranatacara bisa melihat tamu dan seisi tempat acara dengan jelas, juga dekat dengan panitia acara, penata sound system sehingga mengerti jalannya acara dari awal hingga akhir.
f. pawiyatan (pendidikan)
Menjadi seorang pranatacara bisa dipelajari melalui pendidikan formal seperti di UNY program studi bahasa Jawa, pendidikan non formal seperti kursus, penataran, pelatihan atau belajar sendiri. Ilmu umum yang dipelajari melalui pendidikan, baik formal maupun non formal, harus diimbangi dengan ilmu agama sehingga ia mampu memaparkan ayat-ayat dari kitab apapun. Jadi dan tidaknya seseorang sebagai pranatacara yang mumpuni tergantung niat dan kemauan. Meskipun tidak belajar melalui pendidikan formal, apabila ia mau belajar melalui pendidikan non formal ditambah mau belajar langsung dari situasi dan suasana dimana acara digelar, ia pastilah bisa menjadi seorang pranatacara yang baik dan handal.
g. mental
Tidak semua orang memiliki mental baja, ada yang berani, ada yang malu-malu. Bisa saja terjadi, seseorang yang sudah belajar dengan tekun, bahkan telah dihapalkan sebelumnya, namun ketika berhadapan dengan tamu yang banyak, mentalnya menjadi ciut, oleh karena seorang pranatacara tidak boleh salah ucap, dan grogi sehingga kata-kata yang seharusnya diucapkan mantap menjadi acak-acakan dan sekenanya saja. Mental yang tidak kuat, bisa terlihat dari suara yang grogi, badan gemetar, sering salah ucap, dan berdebar-debar.
Agar seorang pranatacara punya mental baja, kuat, dan berani tampil dengan hasil maksimal, maka dibutuhkan latihan yang terus menerus dan bisa melakukan gladhi (gladhi simulasi ataupun gladhi sebenarnya). Gladhi simulasi adalah melakukan tugas pranatacara seperti menghadapi tamu yang sebenarnya diluar acara. Gladhi sebenarnya adalah mengikuti kegiatan mranatacara pada acara yang sebenarnya dengan berdiri di dekat pranatacara profesional saat melakukan pekerjaannya. Ketika sudah merasa berani tampil sendirian, ia bisa mencoba satu dua titilaksana dalam acara tersebut bergiliran dengan pranatacara yang telah profesional (biasanya acara yang memiliki banyak titilaksana adalah acara temanten). Ketika sudah merasa bisa, maka ia bisa melaksanakan tugas pranatacara sendiri.
h. ketewajuhan (kedisiplinan)
Ketewajuhan berkenaan dengan disiplin waktu dan tugas. Disiplin waktu berarti ia harus datang lebih awal dari para tamu yang sebenarnya, memulai acara sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan, dan mengakhiri acara sesuai dengan waktunya. Disiplin dalam tugas artinya melaksanakan kewajiban sesuai dengan yang diminta penyelenggara acara, tidak meninggalkan tempat acara sebelum acara selesai digelar.
i. gladhen (gladi)
Ada tiga tingkatan pranatacara, yaitu pemula, madya, dan professional. Pranatacara pemula biasanya sebelum melaksanakan tugas kepranatacaraannya, ia membuat teks terlebih dahulu dan dihapalkan. Pranatacara madya biasanya hanya membuat catatan garis besar acara yang hendak ia laksanakan. Pranatacara professional biasanya tidak memerlukan persiapan serius dan matang untuk melaksanakan tugas kepranatacaraannya. Ia bisa diminta kapan saja alias mendadak. Pranatacara pada tingkatan manapun harus melakukan gladhi acara agar acara yang dibawakannya bisa berjalan lancar, kata-kata bisa tepat, suaranya bisa terdengar bagus dan mampu membawakan acara dari awal hingga akhir dengan baik.
j. kasamaptaan (persiapan)
Persiapan sangat penting bagi seorang pranatacara. Siap dalam arti mampu mempersiapkan diri dalam hal kesehatan, penampilan, pakaian, dan acara. Jangan sampai ketika di daulat menjadi pranatacara, ia sakit sehingga penyelenggara acara harus mencari pengganti. Penampilan dan pakaian sangat mempengaruhi kewibawaan seorang pranatacara, sehingga ia harus mempersiapkan dengan matang kedua hal tersebut sebelum acara digelar. Siap dalam acara berarti bahwa seorang pranatacara harus berkomunikasi dengan penyelenggara acara, panitai acara, bagaimana sebaiknya acara digelar. Jangan sampai seorang pranatacara memberikan jeda waktu istirahat, sementara panitia belum siap untuk menyuguhkan makanan dan minuman.
3. Kode etik pranatacara
a. Pengertian
Kata etik (atau etika) berasal dari kata ethos (bahasa Yunani) yang berarti karakter, watak kesusilaan atau adat. Sebagai suatu subyek, etika akan berkaitan dengan konsep yang dimilki oleh individu ataupun kelompok untuk menilai apakah tindakan-tindakan yang telah dikerjakannya itu salah atau benar, buruk atau baik. Etika akan memberikan semacam batasan maupun standar yang akan mengatur pergaulan manusia di dalam kelompok sosialnya.
Dalam pengertiannya yang secara khusus dikaitkan dengan seni pergaulan manusia, etika ini kemudian dirupakan dalam bentuk aturan (code) tertulis yang secara sistematik sengaja dibuat berdasarkan prinsip prinsip moral yang ada pada saat yang dibutuhkan akan bisa difungsikan sebagai alat untuk menghakimi segala macam tindakan yang secara logika-rasional umum (common sense) dinilai menyimpang dari kode etik.
Profesi adalah pekerjaan yang dilakukan sebagai kegiatan pokok untuk menghasilkan nafkah hidup dengan mengandalkan keahlian. Secara umum ada beberapa ciri atau sifat yang selalu melekat pada profesi, yaitu:
1. Adanya pengetahuan khusus, yang biasanya keahlian danketerampilan ini dimiliki berkat pendidikan, pelatihan dan pengalaman yang bertahun-tahun.
2. Adanya kaidah dan standar moral yang sangat tinggi. Hal ini biasanya setiap pelaku profesi mendasarkan kegiatannya pada kode etik profesi.
3. Mengabdi pada kepentingan masyarakat, artinya setiap pelaksana profesi harus meletakkan kepentingan pribadi dibawah kepentingan masyarakat.
2. Adanya kaidah dan standar moral yang sangat tinggi. Hal ini biasanya setiap pelaku profesi mendasarkan kegiatannya pada kode etik profesi.
3. Mengabdi pada kepentingan masyarakat, artinya setiap pelaksana profesi harus meletakkan kepentingan pribadi dibawah kepentingan masyarakat.
Kode etik profesi merupakan norma yang
ditetapkan dan diterima oleh sekelompok profesi, yang mengarahkan atau
memberi petunjuk kepada anggotanya bagaimana seharusnya berbuat dan
sekaligus menjamin mutu profesi itu dimata masyarakat. Apabila anggota
kelompok profesi itu menyimpang dari kode etiknya, maka kelompok profesi
itu akan tercemar di mata masyarakat. Oleh karena itu, kelompok profesi
harus mencoba menyelesaikan berdasarkan kekuasaannya sendiri.
Tanggung jawab profesi yang lebih spesifik yaitu:
Tanggung jawab profesi yang lebih spesifik yaitu:
1. Mencapai kualitas yang tinggi dan efektifitas baik dalam proses maupun produk hasil kerja profesional.
2. Menjaga kompetensi sebagai profesional.
3. Mengetahui dan menghormati adanya hukum yang berhubungan dengan kerja yang profesional.
4. Menghormati perjanjian, persetujuan, dan menunjukkan tanggung jawab.
2. Menjaga kompetensi sebagai profesional.
3. Mengetahui dan menghormati adanya hukum yang berhubungan dengan kerja yang profesional.
4. Menghormati perjanjian, persetujuan, dan menunjukkan tanggung jawab.
b. Kode etik pranatacara
Menjadi seorang pranatacara berarti memahami etika pranatacara, etika tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Bila diminta penyelenggara acara tidak menolak. Apabila hendak menolak, maka harus memberikan penjelasan dengan cara yang baik, sopan, halus, dan berhati-hati apalagi bila menyangkut masalah permintaan yang merupakan “sambatan” alias sukarela tanpa dibayar.
2. Harus bisa meyakinkan penyelenggara acara agar mantap dalam memilihnya sebagai calon pranatacara, namun seorang pranatacara tidak boleh sombong dengan membicarakan kemampuannya sebelum tugas dilaksanakan.
3. Siap melaksanakan tugas.
4. Bila bertanya tentang waktu acara (baik siang atau malam), nama tempat, denah lokasi, dan sebagainya dengan jelas sehingga tidak terjadi miskomunikasi atau kesalahpahaman.
5. Jangan pernah meminta untuk dijemput kecuali jika waktunya terlalu mepet.
6. Jauhi pembicaraan tentang honor atau upah.
7. Jauhi permasalahan pribadi (seperti apakah pengantinnya duda atau janda: untuk perhelatan temanten (pernikahan), meninggal karena pa: untuk acara layatan, dan sebagainya).
8. Jangan menyebut merek sound system.
9. Bila bisa, upayakan datang setengah jam sebelum acara dimulai.
2. Harus bisa meyakinkan penyelenggara acara agar mantap dalam memilihnya sebagai calon pranatacara, namun seorang pranatacara tidak boleh sombong dengan membicarakan kemampuannya sebelum tugas dilaksanakan.
3. Siap melaksanakan tugas.
4. Bila bertanya tentang waktu acara (baik siang atau malam), nama tempat, denah lokasi, dan sebagainya dengan jelas sehingga tidak terjadi miskomunikasi atau kesalahpahaman.
5. Jangan pernah meminta untuk dijemput kecuali jika waktunya terlalu mepet.
6. Jauhi pembicaraan tentang honor atau upah.
7. Jauhi permasalahan pribadi (seperti apakah pengantinnya duda atau janda: untuk perhelatan temanten (pernikahan), meninggal karena pa: untuk acara layatan, dan sebagainya).
8. Jangan menyebut merek sound system.
9. Bila bisa, upayakan datang setengah jam sebelum acara dimulai.
B. Pranatacara dalam Bahasa Jawa sebagai Sumber Kearifan dalam Kehidupan Bermasyarakat
1. Pengertian kearifan dan kebudayaan
Kearifan merupakan “sesuatu” yang dihasilkan dari sebuah kecerdasan manusia yang dapat digunakan oleh sesamanya sebagai sarana pencerdasan pula. Kearifan dihasilkan dari proses pemikiran dan pengambilan keputusan yang bijaksana, tidak merugikan semua pihak, serta bermanfaat bagi siapapun yang tersapa oleh kearifan itu. Kearifan dapat menjadi sarana pemelajaran bagi setiap manusia untuk menjadi orang yang cerdas, pandai, dan bijaksana.
Kebudayaan dapat diartikan sebagai seluruh usaha dan hasil usaha manusia dan masyarakat untuk mencukupi segala kebutuhan serta hasratnya untuk memperbaiki hidupnya. Kearifan dalam budaya adalah seluruh usaha dan hasil usaha manusia dan masyarakat yang dilakukan dan ditujukan untuk memberikan makna manusiawi dan membuat tata kehidupan yang manusiawi pula. Dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya, usaha dan hasil budaya manusia diarahkan untuk meningkatkan harkat dan nilai-nilai luhur kemanusiaan.
Kearifan dalam budaya merupakan bentuk kecerdasan yang dihasilkan oleh masyarakat pemilik kebudayaan yang bersangkutan. Sebuah kearifan lokal merupakan kecerdasan yang dihasilkan berdasarkan pengalaman yang dialami sendiri sehingga menjadi milik bersama.
Kearifan lokal budaya Jawa merupakan wujud kecerdasan yang dihasilkan oleh pengalaman hidup masyarakat Jawa sendiri, bukan oleh pengalaman hidup bangsa atau suku lain. Mempelajari dan menghayati budayanya sendiri akan menghasilkan kecerdasan bagi para pelakunya, karena mereka terlibat langsung dalam penciptaan budayanya, melalui pengalaman hidup yang dijalani bersama, namun bukan berarti kebudayaan suku atau bangsa lain tidak dapat dipelajari.
Kearifan lokal merupakan kecerdasan manusia yang dimiliki oleh sekelompok etnis manusia yang diperoleh melalui pengalaman hidupnya serta terwujud dalam ciri-ciri budaya yang dimilikinya. Kearifan lokal memiliki ketahanan terhadap unsur-unsur yang datang dari luar dan mampu berkembang untuk masa-masa mendatang. Kepribadian suatu masyarakat ditentukan oleh kekuatan dan kemampuan kearifan lokal dalam menghadapi kekuatan dari luar. Jika kearifan lokal hilang atau musnah, maka kepribadian bangsapun memudar.
Orang Jawa yang masih menghayati ke-Jawa-annya, memandang bahwa kebudayaan Jawa merupakan kebudayaan yang adiluhung. Adiluhung dapat dipadankan dengan luhur. Kebudayaan adiluhung artinya kebudayaan luhur yang diciptakan untuk mencapai tujuan yang luhur. Ketika orang Jawa mengajarkan pengetahuan, pranata, adat, norma-norma, ataupun nilai-nilai Jawa kepada generasi berikutnya tentu mereka menanamkan bahwa orang Jawa wajib melestarikan kebudayaan Jawa yang adiluhung itu.
Keyakinan atas keadiluhungan kebudayaan mewujud menjadi sebuah hukum yang ketat yang dijabarkan dalam pranata adat ataupun aturan-aturan di dalam kehidupan keluarga. Kebudayaan yang adiluhung yang mereka yakini dapat terpinggirkan oleh budaya lain atau bahkan terlupakan dan pada akhirnya punah. Jika kebudayaan Jawa tidak dianut lagi, barangkali, generasi berikutnya menjadi generasi yang tidak lagi berperilaku njawani seperti layaknya orang Jawa.
2. Pranatacara dalam Bahasa Jawa sebagai Sumber Kearifan dalam Kehidupan Bermasyarakat
Bahasa merupakan pengejawantahan dari apa yang dipelajari dan dipikirkan manusia. Bahasa merupakan representamen kebudayaan. Kebudayaan merupakan keseluruhan proses pemikiran dan hasil usaha manusia untuk mengatasi keterbatasan manusia dalam mempertahankan dan memfasilitasi keberadaan hidupnya yang dipahami melalui proses belajar hingga menjadi milik bersama.
Bahasa yang dipakai oleh seorang pranatacara adalah bahasa Jawa krama inggil, yakni bahasa Jawa yang tingkatannya berada paling tinggi. Bahasa Jawa krama inggil memiliki unsur sastra dan seni yang tinggi. Bahasa ini biasanya dipakai dalam situasi resmi. Unsur seni yang tampil dalam bahasa Jawa krama inggil antara lain berupa pilihan susunan kata-kata, metaphor, dan kesamaan bunyi mengubah tuturan yang disampaikan menjadi tuturan yang puitis. Tuturan yang disajikan dengan bahasa seni (bahasa yang indah) disebut basa rinengga yaitu bahasa yang diperindah. Cara memperindah tuturan dimaksud dilakukan dengan mengubah kalimat dan mengganti kata-kata tertentu dengan kata-kata lain yang bersinonim atau menggunakan metaphor.
Unsur seni yang berupa persamaan bunyi dalam tuturan bahasa Jawa disebut purwakanthi yakni menyebut kembali apa yang telah diujarkan dedepannya (sebelumnya). Seorang pranatacara biasa menggunakan bentuk ini dalam acara temanten. Unsur seni yang terdapat dalam tuturan formal pada upacara temanten berupa penyulihan kata-kata yang lazim digunakan dalam percakapan sehari-hari dengan kata-kata sinonimnya diambil dari ragam sastra. Penggunaan kata-kata dari ragam sastra merupakan sebuah kelaziman yang hadir dalam tuturan pidato pranatacara. Selain menciptakan rasa kenyamanan, bahasa seni yang dihadirkan dalam upacara temanten mampu menciptakan suasana agung dan sakral.
Pranatacara adalah sebuah profesi yang erat kaitannya dengan budaya dan bahasa Jawa. Kehadirannya ditengah masyarakat menjadikan budaya Jawa yang adiluhung tetap dipakai dalam kehidupan bermasyarakat. Kita bisa membayangkan jika sudah tidak ada lagi masyarakat Jawa yang menggunakan bahasa Jawa dalam kehidupannya, dan tidak pernah mendengar orang menggunakan bahasa tersebut didalam masyarakat, maka bahasa Jawa lama-kelamaan pasti akan hilang keberadaannya.
Pranatacara dalam bahasa Jawa yang digunakan oleh masyarakat Jawa dalam situasi resmi dan sakral maupun situasi santai akan menjadi salah satu unsur pembangkit dipakainya kembali bahasa Jawa di ranah publik. Kecakapan pranatacara dalam menjalankan profesinya, didukung oleh pemahaman masyarakat Jawa pada umumnya, bahwa acara-acara sakral dan agung tidaklah nyaman dihati mereka jika tidak ada unsur ke-Jawa-annya. Unsur ke-Jawa-an yang dimaksud adalah penggunaan bahasa Jawa krama inggil dengan unsur seni dan sastra yang tinggi sehingga suasana kesakralan akan terasa dan menyentuh hati. Sekarang ini seperti sedang berkembang suatu tren, baik di kalangan keraton, pejabat negara, pengusaha, maupun rakyat biasa yang menggunakan jasa pranatacara sebagai pembawa acara yang mereka gelar. Dalam hal ini, fungsi pranatacara sebagai salah satu pemakai dan pelestari budaya Jawa menjadi sangat berarti.
Tren yang sedang berkembang hendaknya terus di uri-uri / dilestarikan agar anak dan cucu dapat terus menjumpai dan mendengar bentuk-bentuk sastra Jawa yang adiluhung di masyarakat. Seringnya menjumpai dan mendengar bentuk bahasa Jawa yang dibawakan oleh seorang pranatacara, maka akan memunculkan bibit-bibit pranatacara baru yang nantinya akan menggantikan fungsi pranatacara yang telah tua atau meninggal. Dengan demikian, regenerasi profesi pranatacara akan dapat terus terjadi. Regenerasi inilah yang akan tetap melestarikan budaya Jawa yang adiluhung sebagai suatu kearifan lokal masyarakat Jawa yang hanya akan dijumpai dalam masyarakat Jawa sebagai ciri khas budaya Jawa.
C. Kesimpulan
Kehadiran pranatacara dalam budaya masyarakat Jawa merupakan suatu bentuk pelestarian budaya Jawa yang adiluhur sebagai sumber kearifan dalam kehidupan bermasyarakat yang mencerminkan identitas lokal masyarakat Jawa sehingga akan sangat penting bagi masyarakat Jawa untuk tetap melestarikan budaya tersebut dalam kehidupan bermasyarakat. Semakin banyak orang mengenal dan mendengar bahasa Jawa di ranah publik, maka semakin kokohlah bahasa Jawa sebagai cermin budaya bangsa yang ikut membesarkan bangsa Indonesia.
Daftar Pustaka
♦ Al Qura, Abu Izzah. 2009. Materi Praktis Menjadi MC dan Pidato
Handal. Surakarta: Al-Hikmah.
Handal. Surakarta: Al-Hikmah.
♦ Amrih, Pitoyo. 2008. Ilmu Kearifan Jawa. Yogyakarta: Pinus Book
publisher.
publisher.
♦ Bratawijaya, Thomas. 2006. Upacara Perkawinan Adat Jawa.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
♦ Endraswara, Suwardi. Cetakan ketiga 2010. Falsafah Hidup Jawa.
Menggali Mutiara Kebijakan dari Intisasi Filsafat Kejawen.
Yogyakarta: Cakrawala.
Menggali Mutiara Kebijakan dari Intisasi Filsafat Kejawen.
Yogyakarta: Cakrawala.
♦ Endraswara, Suwardi. Cetakan ketiga 2009. Mutiara Wicara Jawa.
Pandom Pranatacara lan Pamedharsabda. Yogyakarta: UGM Press.
Pandom Pranatacara lan Pamedharsabda. Yogyakarta: UGM Press.
♦ Haq. Muh Zaairul. 2011. Mutiara Hidup Manusia Jawa. Yogyakarta:
Aditya Media Publishing.
Aditya Media Publishing.
♦ Hariwijaya, M. 2004. Tatacara Penyelenggaraan Perkawinan Adat
Jawa. Yogyakarta. Hanggar Kreator.
Jawa. Yogyakarta. Hanggar Kreator.
♦ Margono. Tulada-Tulada Tanggap Wacana Basa Jawa. Surabaya:
Karya Utama.
Karya Utama.
♦ Pasha, Lukman. 2011. Butir-butir Kearifan Jawa. Yogyakarta: Azna
Books.
Books.
♦ Pringgawidagda, Suwarna. 1998. Gita Wicara Jawi. Pranatacara
saha Pamedharsabda. Yogyakarta: Kanisius.
saha Pamedharsabda. Yogyakarta: Kanisius.
♦ Purwadi. 2010. Sejarah Asal-Usul Nenek Moyang Orang Jawa.
Yogyakarta: Panji Pustaka.
Yogyakarta: Panji Pustaka.
♦ Rachmatullah, Asep. 2010. Falsafah Hidup Jawa. Yogyakarta:
Logung Pustaka.
Logung Pustaka.
♦ Rahyono. 2009. Kearifan Budaya Dalam Kata. Jakarta: Wedatama
Widyasastra.
Widyasastra.
♦ Roqib, Moh. 2007. Harmoni dalam Budaya Jawa. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Pustaka Pelajar.
♦ Setiyanto, Aryo Bimo. 2007. Parama Sastra Bahasa Jawa.
Yogyakarta: Panji Pustaka.
Yogyakarta: Panji Pustaka.
SUMBER SITUS SUTRESNA JAWA