PENGERTIAN SUAP
Definisi arti kata SUAP (bribery) bermula dari asal kata briberie (Perancis) yang artinya adalah ’begging’ (mengemis) atau’vagrancy’ (penggelandangan). Dalam bahasa Latin disebut briba, yang artinya ’a piece of bread given to beggar’ (sepotong roti yang diberikan kepada pengemis). Dalam perkembangannya bribe bermakna ’sedekah’ (alms), ’blackmail’, atau ’extortion’ (pemerasan) dalam kaitannya dengan ’gifts received or given in order to influence corruptly’ (pemberian atau hadiah yang diterima atau diberikan dengan maksud untuk memengaruhi secara jahat atau korup).
Suap-menyuap yang dilakukan secara bersama- sama dengan penggelapan dana-dana publik (embezzlement of public funds) sering disebut sebagai inti atau bentuk dasar dari tindak pidana korupsi. Korupsi sendiri secara universal diartikan sebagai bejat moral, perbuatan yang tidak wajar, atau noda (depravity, perversion, or taint); suatu perusakan integritas, kebajikan, atau asas-asas moral (an impairment of integrity, virtue, or moral principles).
sumber gambar : google |
Kriminalisasi terhadap tindak pidana korupsi, termasuk suap-menyuap, mempunyai alasan yang sangat kuat sebab kejahatan tersebut tidak lagi dipandang sebagai kejahatan konvensional, melainkan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime), karena karakter korupsi yang sangat kriminogin (dapat menjadi sumber kejahatan lain) dan viktimogin (secara potensial dapat merugikan pelbagai dimensi kepentingan).
Kriminalisasi terhadap tindak pidana suap secara mendasar sudah dilakukan melalui Pasal 209 KUHP yang mengatur penyuapan aktif (actieve omkooping atau active bribery) terhadap pegawai negeri. Pasangan dari pasal ini adalah Pasal 419 KUHP yang mengatur tentang penyuapan pasif (passive omkooping atau passive bribery), yang mengancam pidana terhadap pegawai negeri yang menerima hadiah atau janji tersebut di atas.
Selanjutnya Pasal 210 KUHP yang mengatur penyuapan terhadap hakim dan penasihat di pengadilan. Hakim dan penasihat yang menerima suap tersebut diancam pidana oleh Pasal 420 KUHP.Keempat pasal tersebut kemudian dinyatakan Perluasan tindak pidana suap dalam bentuk retour-commissie atau gratifikasi diatur dalam Pasal 418 KUHPsebagai tindak pidana korupsi melalui UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001.
Suap yang menyangkut kepentingan umum (baik aktif maupun pasif) dikriminalisasikan melalui UU No 11 Tahun 1980.
Tindak pidana suap ini diatur dalam, UU No. 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap (“UU 3/1980”). Pasal 3 UU 3/1980 menyebutkan:
“Barangsiapa menerima sesuatu atau janji, sedangkan ia mengetahui atau patut dapat menduga bahwa pemberian sesuatu atau janji itu dimaksudkan supaya ia berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum, dipidana karena menerima suap dengan pidana penjara selama-lamanya 3 (tiga) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp.15.000.000.- (lima belas juta rupiah).”
Penjelasan Pasal 3 UU 3/1980 ini menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan "sesuatu atau janji" tidak selalu berupa uang atau barang. Dengan demikian, pasal tersebut menjelaskan bahwa “sesuatu” adalah termasuk juga uang.
Suap di lingkungan perbankan diatur dalam UU No 10 Tahun 1998. Suap-menyuap dalam pemilu (money politics) diatur dalam UU No 12 Tahun 2003 dan UU No 23 Tahun 2003. Begitu pula dalam UU No 32 Tahun 2004 sepanjang berkaitan dengan pemilihan kepala daerah.
Selain itu, Pasal 11UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU Tipikor”) juga mengatur:
“Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.”
Namun, Pasal 12Cayat [1] UU Tipikor menyatakan bahwa apabila dalam hal gratifikasi, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), maka pidananya dihapuskan. Seperti diketahui menurut Pasal 12B ayat [1] UU Tipikor, setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap.
"gratifikasi" adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik (lihat Penjelasan Pasal 12B ayat [1] UU Tipikor).