HUKUM SHALAT BERJAMAAH
Omah Artikel kali ini akan menyajikan bagaimana HUKUM SHALAT BERJAMAAH bagi kita kaum muslimin.
Tidak disangsikan lagi permasalahan ibadah merupakan inti ajaran
Islam. Syari’at sangat memperhatikan permasalahan ini, karena ia
merupakan perwujudan aqidah seseorang. Bahkan Allâh Ta’âlâ menjadikannya
sebagai tujuan penciptaan manusia, dalam firman-Nya:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ
Artinya: “Dan, Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.“ [QS.Adz Dzariyaat :56]
Diantara ibadah yang agung dan penting adalah shalat, karena ia merupakan amalan terbaik seorang hamba, sebagaimana Rasulullâh shallallâhu ’alaihi wasallâm bersabda:
Artinya: “Beristiqamahlah, dan kalian tidak akan mampu
istiqamah yang sempurna. Ketahuilah, sebaik-baiknya amalan kalian adalah
shalat, dan tidaklah menjaga wudhu kecuali seorang mukmin.“ [Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah, kitab Thaharah wa Sunanuha, bab Al-Muhafadzah ‘alal Wudhu No. 253, Ahmad dalam Musnad-nya no. 21400 dan 21344, dan Ad-Darimi dalam Sunan-nya, kitab Thaharah, bab Ma Ja’a fith Thuhur no.653]
Apalagi shalat telah diwajibkan Allâh terhadap kaum mukminin,
sehingga sudah selayaknya kita memperhatikan permasalahan ini. Tentunya
berharap dapat menunaikannya secara sempurna.
Kedudukan Shalat dalam Islam
Shalat tidak diragukan memiliki kedudukan tinggi dalam Islam. Ia adalah rukun kedua dan tiangnya agama. Rasulullâh shallallâhu ’alaihi wasallam bersabda:
Artinya: “Pemimpin segala perkara (agama) adalah Islam (syahadatain), dan tiangnya adalah shalat.“ [Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dalam Sunan-nya, kitab Al-Iman bir-Rasulillâh shallallâhu ’alaihi wasallam no. 3541, dan Ahmad dalam Musnad-nya no. 21054. At-Tirmidzi berkata: “Ini hadits hasan shahih.”]
Seluruh syariat para Rasul menganjurkan dan memotivasi umatnya untuk
menunaikannya, sebagaimana Allâh berfirman menjelaskan do’a Nabi Ibrahim
‘alaihissalâm:
رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلاةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاءِ
Artinya: “Yâ Rabbku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, yâ Rabb kami, perkenankan do’aku.“ [QS. Ibrahiim : 40]
Dan Allâh Ta’âlâ mengisahkan Nabi Ismail ‘alaihissalâm:
وَكَانَ يَأْمُرُ أَهْلَهُ بِالصَّلاةِ وَالزَّكَاةِ وَكَانَ عِنْدَ رَبِّهِ مَرْضِيًّا
Artinya: “Dan ia menyuruh ahlinya untuk shalat dan menunaikan zakat, dan ia adalah seorang yang di ridhoi di sisi Rabbnya.“ [QS.Maryam :55]
Demikian juga menyampaikan berita kepada Nabi Musa ‘alaihissalâm:
إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لا إِلَهَ إِلا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلاةَ لِذِكْرِي
Artinya: “Sesungguhnya Aku ini adalah Allâh, tidak ada
Ilah (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku, dan dirikanlah shalat
untuk mengingat Aku.“ [QS. Thaahaa : 14]
Nabi Isa ‘alaihissalâm menceritakan nikmat yang beliau peroleh dalam ayat Al-Qur’an yang berbunyi:
وَجَعَلَنِي مُبَارَكًا أَيْنَ مَا كُنْتُ وَأَوْصَانِي بِالصَّلاةِ وَالزَّكَاةِ مَا دُمْتُ حَيًّا
Artinya: “Dan dia menjadikan aku seorang yang berbakti
di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan)
shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup” [QS. Maryam : 31]
Bahkan Allâh Ta’âlâ mengambil perjanjian Bani Israil untuk menegakkan shalat. Allâh Ta’âlâ berfirman:
وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَاقَ بَنِي إِسْرَائِيلَ لا تَعْبُدُونَ
إِلا اللَّهَ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَذِي الْقُرْبَى
وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا وَأَقِيمُوا
الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ ثُمَّ تَوَلَّيْتُمْ إِلا قَلِيلا مِنْكُمْ
وَأَنْتُمْ مُعْرِضُونَ
Artinya: Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji
dari Bani Israil (yaitu), ”Janganlah kamu menyembah selain Allâh, dan
berbuat baiklah kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim dan
orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia,
dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi
janji itu, kecuali sebagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu
berpaling.“ [QS. Al-Baqarah : 83]
Demikian juga Allâh perintahkan hal itu pada Nabi Muhamad shallallâhu ’alaihi wasallam dalam firman-Nya:
وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا لا نَسْأَلُكَ رِزْقًا نَحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى
Artinya: “Dan perintahkanlah kepada keluargamu
mendirikan shalat, dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak
meminta rizki kepadamu, Kamilah yang memberi rizki kepadamu. Dan akibat
(yang baik) itu adalah bagi orang yang bertaqwa.“ [QS. Thaha : 132]
Demikian tingginya kedudukan shalat dalam Islam, sampai Rasulullâh shallallâhu ’alaihi wasallam menjadikannya pembeda antara mukmin dan kafir. Rasulullâh shallallâhu ’alaihi wasallam bersabda:
Artinya: “Perjanjian antara aku dan mereka adalah shalat barang siapa yang meninggalkannya maka telah berbuat kekafiran.“ [Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dalam Jami’-nya (Sunan-nya), kitab Iman bir-Rasulillâh bab Ma Ja’a fi Tarki Shalat no. 2545, dan An Nasa’i dalam Sunan-nya kitab Shalat, bab Al-Hukmu fi Taarikis Shalat no. 459 dengan sanad yang shahih]
Memang orang yang meninggalkan shalat akan lebih mudah meninggalkan
yang lainnya, kemudian terputuslah hubungannya dari Allâh Ta’âlâ. Abu
Bakar Ash-Shiddiq menyatakan dalam surat beliau kepada Umar:
“Ketahuilah, perkara yang paling penting padaku adalah shalat, karena
orang yang meninggalkannya akan lebih mudah meninggalkan yang lainnya.
Dan ketahuilah, Allâh Ta’âlâ memiliki satu hak di malam hari yang tidak
Dia terima di siang hari, dan satu hak di siang hari yang tidak diterima
di malam hari. Allâh tidak menerima amalan sunnah sampai menunaikan
kewajiban.” [Dinukil oleh Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa 22/40]
Hukum Shalat Berjama’ah
Shalat berjama’ah disyari’atkan dalam Islam, akan tetapi para ulama berselisih pendapat tentang hukumnya dalam empat pendapat:
1. Hukumnya fardhu kifayah.
Ini merupakan pendapatnya Imam Syafi’i, Abu Hanifah, jumhur ulama Syafi’iyah mutaqadimin, dan banyak ulama Hanafiyah dan Malikiyah. Al-Haafizh Ibnu Hajar berkata: “Zhahir-nya nash (perkataan) Syafi’i, shalat berjamaah hukumnya fardhu kifayah. Inilah pendapat jumhur mutaqaddim dari ulama Syafi’iyah dan banyak ulama Hanafiyah, serta Malikiyah” [Fathul Baari 2/26]
Dalil mereka:
Hadits pertama
Artinya: “Tidaklah ada tiga orang dalam satu perkampungan atau
pedalaman tidak ditegakkan pada mereka shalat, kecuali Syeithan akan
menguasainya. Berjamaahlah kalian, karena srigala hanya memangsa kambing
yang sendirian” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya, kitab Ash-Shalat, bab At-Tasydiid fi Tarkil Jama‘ah no.460, An Nasa’i dalam Sunan-nya, kitab Al-Imaamah, bab At-Tasydiid Fi Tarkil Jama’ah no.738, dan Ahmad dalam Musnad-nya no. 26242]
As-Saaib berkata: “Yang dimaksud berjamaah adalah jamaah
dalam shalat.” [Lihat penukilan Abu Dawud setelah menyampaikan hadits di
atas]
Hadits kedua
Artinya: “Kembalilah kepada ahli kalian, lalu
tegakkanlah shalat pada mereka, serta ajari dan perintahkan mereka
(untuk shalat). Shalatlah kalian sebagaiamana kalian melihat aku shalat.
Jika telah datang waktu shalat, hendaklah salah seorang kalian
beradzan, dan yang paling tua menjadi imam.“ [Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Al-Adzaan, bab Al-Adzaan lil Musaafir Idza Kaanu Jama’atan wal Iqamah Kadzaalik no. 595, dan Muslim dalam Shahih-nya kitab Al-Masaajid wa Mawaadhi’ ash-Shalat, bab Man Ahaqu bil Imamah no. 1080]
Hadits ketiga
Artinya: “Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullâh shallallâhu ’alaihi wasallam bersabda, ‘Shalat berjamaah mengungguli shalat sendirian dua puluh tujuh derajat.‘ ” [Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahih-nya kitab Al-Adzaan, bab Fadhlu Shalatul Jama’ah no. 609]
2. Dihukumi sebagai syarat sah shalat. Shalat tidak sah tanpa berjama’ah kecuali dengan adanya udzur (hambatan).
Ini pendapat zhahiriyah dan sebagian ulama hadits. Pendapat
ini didukung oleh sejumlah ulama diantaranya: Ibnu Taimiyah, Ibnul
Qayyim, Ibnu Aqiil dan Ibnu Abi Musa. Diantara dalil mereka:
Hadits pertama
Artinya: “Barang siapa yang mendengar adzan lalu tidak datang, maka tidak ada shalat baginya kecuali karena udzur.“ [Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunan-nya, kitab Al-Masaajid wal Jama’ah, bab At-Taghlidz fi Attakhalluf ‘anil Jama’ah no. 785. Hadits ini di-shahih-kan Al-Albani dalam Shahih Sunan Ibni Maajah no. 631]
Hadits kedua
Artinya: “Demi dzat yang jiwaku ada ditanganNya, sungguh
aku bertekad meminta dikumpulkan kayu bakar lalu dikeringkan (agar
mudah dijadikan kayu bakar). Kemudian aku perintahkan shalat, lalu ada
yang beradzan. Kemudian aku perintahkan seseorang untuk mengimami
shalat, dan aku tidak berjamaah untuk menemui orang-orang (lelaki yang
tidak berjama’ah), lalu aku bakar rumah-rumah mereka.” [Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahih-nya kitab Al-Adzaan, bab Wujubu Shalatil Jama’ah no. 608, dan Muslim dalam Shahih-nya kitab Al-Masaajid wa Mawaadhi’ Shalat, bab Fadhlu Shalatil Jamaah wa Bayaani Attasydiid fit Takhalluf ‘Anha no. 1041]
Hadits ketiga
Artinya: Seorang buta mendatangi Nabi, dan berkata,
“Wahai Rasulullâh, aku tidak mempunyai seorang yang menuntunku ke
masjid.” Lalu dia meminta keringanan kepada Rasulullâh sehingga boleh
shalat dirumah. Lalu beliau memberikan keringanan kepadanya. Ketika ia
meninggalkan Nabi, langsung Rasulullâh memanggilnya dan bertyanya,
“Apakah anda mendengar panggilan adzan shalat?” Dia menjawab, “Ya”. Lalu beliau berkata, “Penuhilah!” [Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya kitab Al-Masaajid wa Mawaadhi’ Shalat, bab Yajibu Ityanul Masjid ‘ala Man Sami’a Annida’ no. 1044]
3. Hukumnya sunnah muakkad
Ini pendapat madzhab Hanafiyah dan Malikiyah. Imam Ibnu Abdil Barr
menisbatkannya kepada kebanyakan ahli fiqih Iraq, Syam dan Hijaaj. Dalil
mereka:
Hadits pertama
Artinya: Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullâh bersabda, “Shalat berjamaah mengungguli shalat sendirian dua puluh tujuh derajat.“ [Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahih-nya kitab Al-Adzaan, bab Fadhlu Shalatul Jama’ah no. 609]
Hadits Kedua
Artinya: “Sesungguhnya orang yang mendapat pahal paling
besar dalam shalat adalah yang paling jauh jalannya, kemudian yang lebih
jauh. Orang yang menunggu shalat sampai shalat bersama imam lebih besar
pahalanya dari orang yang shalat kemudian tidur.“ Dalam riwayat Abu Kuraib, “Sampai shalat bersama imam dalam jama’ah.“ [Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya kitab Al-Masaajid wa Mawaadhi’ Shalat, bab Fadhlu Katsrotil Khutha ilal Masaajid, no.1064]
Imam Asy-Syaukaniy menyatakan setelah membantah pendapat yang
mewajibkannya: “Pendapat yang pas dan mendekati kebenaran, shalat jamaah
termasuk sunah-sunah yang muakkad. Adapun hukum shalat jama’ah adalah
fardhu ‘ain atau kifayah, atau syarat sah shalat, maka tidak.”
Hal ini dikuatkan oleh Shidiq Hasan Khon, dan pernyataan beliau:
Adapun hukumnya fardhu, maka dalil-dalil masih dipertentangkan. Akan tetapi disana ada cara ushul fiqh yang mengkompromikan dalil-dalil tersebut, yaitu hadits-hadits keutamaan shalat jama’ah menunjukkan keabsahan shalat sendirian. Hadits-hadits ini cukup banyak, diantaranya:
Orang yang menunggu shalat sampai shalat bersama imam lebih besar pahalanya dari orang yang shalat sendirian kemudian tidur. Hadits ini dalam kitab shohih.
Juga diantaranya hadits orang yang salah shalatnya yang sudah masyhur, dimana Rasulullah shallallâhu ’alaihi wasallam memerintahkannya mengulangi shalat sendirian. Ditambah dengan hadits:
Artinya: “Seandainya ada seorang yang bersedekah kepadanya“ (Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad-nya no. 11380)
Ketika melihat seorang shalat sendirian. Diantara hadits-hadits yang menguatkan adalah hadits yang mengajarkan rukun islam, karena Rasulullâh shallallâhu ’alaihi wasallam tidak memerintahkan orang yang diajarinya untuk tidak shalat kecuali berjama’ah. Padahal beliau mengatakan kepada orang yang menyatakan saya tidak menambah dan menguranginya: ?(telah beruntung jika benar) dan dalil-dalil lainnya. Semua ini dapat memalingkan sabda beliau shallallâhu ’alaihi wasallam: yang ada pada hadits-hadits yang menunjukan kewajiban berjam’ah kepada peniadaan kesempurnaan, bukan keabsahannya.
[Raudhatun Nadiyah Syarah Durarul Bahiyah 1/306]
Pendapat ini dirajihkan Asy-Syaukani dan Shidiq hasan Khon, serta Sayyid Saabiq. [Fiqhus Sunnah 1/248]
4. Hukumnya wajib ain (fardhu ‘ain) dan bukan syarat
Ini pendapat Ibnu Mas’ud, Abu Musa Al-Asy’ariy, Atha’ bin Abi
Rabbaah, Al-Auzaa’iy, Abu Tsaur, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibaan, kebanyakan
ulama Hanafiyah dan madzhab Hanbali. Dalil mereka:
Firman Allâh Ta’âlâ
وَإِذَا كُنْتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلاةَ فَلْتَقُمْ
طَائِفَةٌ مِنْهُمْ مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا أَسْلِحَتَهُمْ فَإِذَا
سَجَدُوا فَلْيَكُونُوا مِنْ وَرَائِكُمْ وَلْتَأْتِ طَائِفَةٌ أُخْرَى
لَمْ يُصَلُّوا فَلْيُصَلُّوا مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا حِذْرَهُمْ
وَأَسْلِحَتَهُمْ وَدَّ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْ تَغْفُلُونَ عَنْ
أَسْلِحَتِكُمْ وَأَمْتِعَتِكُمْ فَيَمِيلُونَ عَلَيْكُمْ مَيْلَةً
وَاحِدَةً وَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ كَانَ بِكُمْ أَذًى مِنْ مَطَرٍ
أَوْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَنْ تَضَعُوا أَسْلِحَتَكُمْ وَخُذُوا حِذْرَكُمْ
إِنَّ اللَّهَ أَعَدَّ لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُهِينًا
Artinya: “Dan apabila kamu berada di tengah-tengah
mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama
mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu
dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu)
sujud (telah menyempurnakan seraka’at), maka hendaklah mereka pindah
dari belakangmu (untuk menghadapi musuh), dan hendaklah datang golongan
yang kedua yang belum bershalat, lalu bershalatlah mereka denganmu, dan
hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. Orang-orang kafir
ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu
mereka menyerbu kamu dengan sekaligus. Dan tidak ada dosa atasmu
meletakkan senjata-senjatamu jika kamu mendapat sesuatu kesusahan karena
hujan atau karena karena kamu memang sakit; dan siap siagalah kamu.
Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi
orang-orang kafir itu.“ [QS. An Nisaa’ : 102]
Dalam ayat ini terdapat dalil yang tegas akan kewajiban shalat
berjamaah. Shalat jamaah tidak boleh ditinggalkan kecuali dengan udzur
seperti ketakutan atau sakit.
Firman Allâh Ta’âlâ:
وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
Artinya: “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’.“ [QS. Al-Baqarah : 43]
Ini adalah perintah, kata perintah menunjukkan kewajibannya.
Firman Allâh Ta’âlâ:
فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا
اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالآصَالِ رِجَالٌ لا
تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ
الصَّلاةِ
وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ
الْقُلُوبُ وَالأبْصَارُ
“Bertasbih kepada Allâh di masjid-masjid yang telah
diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada
waktu pagi dan waktu petang, laki-laki yang tidak dilalaikan oleh
perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah,
mendirikan shalat, dan membayarkan zakat. Mereka takut pada suatu hari
yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.“ [QS. Annur : 36-37]
Firman Allâh Ta’âlâ:
قُلْ أَمَرَ رَبِّي بِالْقِسْطِ وَأَقِيمُوا وُجُوهَكُمْ عِنْدَ
كُلِّ مَسْجِدٍ وَادْعُوهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ كَمَا بَدَأَكُمْ
تَعُودُونَ
Artinya: Katakanlah, ”Rabbku menyuruh menjalankan
keadilan.” Dan (katakanlah), ”Luruskan muka (diri)mu di setiap shalat,
dan sembahlah Allâh dengan mengikhlaskan keta’atanmu kepada-Nya.
Sebagaimana Dia telah menciptakan kamu pada permulaan (demikian pulalah)
kamu akan kembali kepadaNya.” [QS. Al-A’raf : 29]
Kedua ayat ini ada kata perintah yang menunjukkan kewajibannya.
Firman Allâh Ta’âlâ:
يَوْمَ يُكْشَفُ عَنْ سَاقٍ وَيُدْعَوْنَ إِلَى السُّجُودِ فَلا
يَسْتَطِيعُونَ خَاشِعَةً أَبْصَارُهُمْ تَرْهَقُهُمْ ذِلَّةٌ وَقَدْ
كَانُوا يُدْعَوْنَ إِلَى السُّجُودِ وَهُمْ سَالِمُونَ
Artinya: “Pada hari betis disingkapkan, dan mereka
dipanggil untuk bersujud, maka mereka tidak kuasa, (dalam keadaan)
pandangan mereka tunduk ke bawah, lagi mereka diliputi kehinaan. Dan
sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) diseru untuk bersujud, dan mereka
dalam keadaan sejahtera.“ [QS. Al-Qalam : 42-43]
Ibnul Qayyim berkata: “Sisi pendalilannya adalah Allâh Ta’âlâ
menghukum mereka pada hari kiamat dengan memberikan penghalang antara
mereka dengan sujud ketika diperintahkan untuk sujud. Mereka
diperintahkan sujud di dunia, dan enggan menerimanya. Jika sudah
demikian, maka menjawab panggilan mendatangi masjid dengan menghadiri
jamaah shalat, bukan sekedar melaksanakannya di rumahnya saja.”
Sabda Rasulullâh shallallâhu ’alaihi wasallam:
Artinya: “Demi dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya,
sungguh aku bertekad meminta dikumpulkan kayu bakar lalu dikeringkan
(agar mudah dijadikan kayu bakar). Kemudian aku perintahkan shalat, lalu
ada yang beradzan. Kemudian aku perintahkan seseorang untuk mengimami
shalat, dan aku tidak berjamaah untuk menemui orang-orang (lelaki yang
tidak berjama’ah), lalu aku bakar rumah-rumah mereka.“ [Diriwayatkan oleh Bukhori dalam Shohih-nya kitab Al-Adzaan, bab Wujubu Shalatil Jama’ah no. 608, dan Muslim dalam Shohih-nya kitab Al-Masaajid wa Mawaadhi’ Shalat, bab Fadhlu Shalatil Jamaah wa Bayaani Attasydiid fit Takhalluf ‘Anha no. 1041]
Ibnu Hajar dalam menafsirkan hadits ini menyatakan: “Adapun hadits bab (hadits di atas), maka zhahir-nya
menunjukkan shalat jamaah fardhu ‘ain, karena seandainya hanya sunnah,
tentu tidak mengancam peninggalnya dengan pembakaran tersebut. Juga
tidak mungkin terjadi pada peninggal fardhu kifayah, seperti
pensyariatan memerangi orang-orang yang meninggalkan fardhu kifayah.” [Fathul Baari 2/125]
Demikian juga Ibnu Daqiqil ’Ied menyatakan: “Ulama
yang berpendapat bahwa shalat jamah hukumnya fardhu ‘ain berhujah dengan
hadits ini, karena jika dikatakan fardhu kifayah, kewajiban itu
dilaksanakan oleh Rasulullâh dan orang yang bersamanya, dan jika
dikatakan sunnah, tentunya tidaklah dibunuh peninggal sunnah. Dengan
demikian jelaslah, shalat jamaah hukumnya fardhu ‘ain.” [Ihkamul Ahkaam 1/124]
Sabda Rasulullâh shallallâhu ’alaihi wasallam:
Artinya: Seorang buta mendatangi Nabi shallallâhu ’alaihi wasallam,
dan berkata, “Wahai Rasulullâh, aku tidak mempunyai seorang yang
menuntunku ke masjid.” Lalu dia meminta keringanan kepada Rasulullâh shallallâhu ’alaihi wasallam sehingga boleh shalat dirumah. Lalu beliau shallallâhu ’alaihi wasallam
memberikan keringanan kepadanya. Ketika ia meninggalkan Nabi, langsung
Rasulullâh memanggilnya dan bertanya, “Apakah anda mendengar panggilan
adzan shalat? Dia menjawab, “Ya.” Lalu beliau berkata, “Penuhilah!” [Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya kitab Al-Masaajid wa Mawaadhi’ Shalat, bab Yajibu Ityanul Masjid ‘ala Man Sami’a Annida’ no. 1044]
Ibnu Qudamah berkata setelah menyampaikan hujahnya dengan hadits ini:
“Jika orang buta yang tidak memiliki orang yang mengantarnya tidak
diberi keringanan, maka selainnya lebih lagi.” [Al Mughni 3/6]
Sabda Rasulullâh shallallâhu ’alaihi wasallam:
Artinya: “Tidaklah ada tiga orang dalam satu perkampungan atau pedalaman tidak ditegakkan pada mereka shalat kecuali setan akan menguasainya. Berjamaahlah kalian, karena srigala hanya memangsa kambing yang sendirian.” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya, kitab Ash-Shalat, bab At-Tasydiid fi Tarkil Jamaah no.460, An-Nasa’i dalam Sunan-nya, kitab Al-Imaamah, bab At-Tasydiid fi Tarkil Jama’ah no.738, dan Ahmad dalam Musnad-nya no. 26242]
Nash-nash ini menunjukkan kewajiban shalat berjama’ah. Pendapat ini dirajihkan oleh Lajnah Daimah lil Buhuts wal Ifta’ (Komite Tetap untuk Riset dan Fatwa, Saudi Arabia) [Fatawa Lajnah Daimah 7/283]
dan Syaikh Prof. Dr. Sholeh bin Ghanim As-Sadlaan dalam kitabnya, Shalatul Jama’ah [Shalatul Jama’ah, hal. 72] serta sejumlah ulama lainnya. Wallâhu a’lam.
[Sumber: http://www.UstadzKholid.com/fiqih/hukum-shalat-berjama%E2%80%99ah-wajib-ataukah-sunnah. Penulis: Ustadz Kholid bin Syamhudi, Lc.]